Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DEMAM BERDARAH DENGUE

Aksi Si Virus Pengintai Maut

Kompas.com - 21/09/2010, 07:00 WIB

Demam berdarah dengue masih menyisakan berbagai pertanyaan menggantung. Termasuk di dalam keluarga Bain (49), warga Jakarta Timur, yang baru terserang penyakit itu bersamaan dengan putranya, Anan (18), beberapa waktu lalu.

Kesannya, demam berdarah itu bisa remeh, tetapi juga dapat mematikan. Lebih baik tidak ambil risiko,” ujar Bain yang sempat dirawat lima hari di sebuah rumah sakit. Begitu merasa demam, tanpa pikir panjang, Bain yang sudah tiga kali dihinggapi demam berdarah dengue itu memeriksakan diri ke dokter. Kekhawatiran utamanya, demam berdarah.

Sepak terjang penyakit demam berdarah kian mengkhawatirkan. Penyakit yang satu ini tidak pilih-pilih korban dan tak hanya menyerang anak-anak saja, seperti sebelumnya dikenal.

Penyakit berbahaya itu tak lepas dari aksi virus dengue di dalam darah. Dengue berasal dari bahasa Swahili, ki denga pepo, atau serangan tiba-tiba berupa kejang yang disebabkan roh jahat. Dalam bahasa Spanyol kemudian disebut dengue. Penyakit yang ditularkan nyamuk Aedes aegypti itu menjadi wabah di Indonesia pada 1968.

Dokter spesialis penyakit dalam dari RS Karya Bhakti, Bogor, Adi Teruna Effendi, mengatakan, demam dengue disebabkan oleh virus dengue (VDEN). Namun, infeksi virus dengue dalam dinamikanya sering menimbulkan ragam gambaran klinik, seperti demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD), dan dengue shock syndrom (DSS). Virus dengue mampu memperbanyak diri sehingga menimbulkan penyebaran yang selanjutnya menentukan arah berkembangnya infeksi.

Keberadaan virus di dalam darah memicu sistem imunitas yang ditandai dengan demam akut. ”Hanya saja, terkadang demam itu tidak dirasakan karena tengah bepergian, sibuk, atau kelelahan,” ujar Adi.

Selain itu, pemecahan virus dengue akan melepaskan protein nonstruktural yang nantinya mendorong replikasi virus lebih jauh lagi. Kondisi itu menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan dapat menyebabkan terjadinya kebocoran.

Dokter spesialis anak dari Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, Alan Roland Tumbelaka, menambahkan, peningkatan hematokrit menjadi salah satu penanda akan adanya ancaman kebocoran plasma yang dapat menyebabkan shock dan berbahaya. ”Dibandingkan dengan nilai trombosit, nilai hematokrit jauh lebih penting dalam menentukan kegawatan suatu kasus demam berdarah dengue,” ujarnya.

Terjadinya shock bergantung pada jenis tipe virus dengue (dikenal dengan serotipe) yang masuk ke tubuh anak. Terdapat empat serotipe, yakni Dengue 1, Dengue 2, Dengue 3, dan Dengue 4. Tingkat kejahatan virus juga berperan. ”Respons kekebalan tubuh dari setiap penderita ikut juga menentukan terjadinya shock atau tidak,” kata Alan.

Perbedaan

Alan menjelaskan, kebocoran plasma (plasma leakage) membedakan antara demam berdarah dengue (DBD) dan demam dengue. Pada DBD terjadi kebocoran plasma karena keluarnya cairan plasma darah dari pembuluh darah seseorang ke jaringan di luar pembuluh darah. Kebocoran itu menyisakan zat padat dalam darah atau sel darah yang ditandai oleh kadar hematokrit (kekentalan darah) meningkat. Kebocoran plasma yang biasanya pada hari ke-3 hingga ke-4 itu dapat dikenali dengan nilai hematokrit (Ht).

Sebagian cairan plasma masuk ke ruang di luar pembuluh darah, seperti ruang antara selaput paru (pleura) atau ke antara selaput pembungkus jantung (perikardium), atau ke ruang antara usus manusia (peritonium). Lantaran keluarnya cairan itu, rongga pembuluh darah menjadi relatif kosong dan tekanannya jadi berkurang. Hal ini memberi gejala turunnya tekanan dalam pembuluh darah dan berakibat fatal shock atau renjatan. ”Inilah komplikasi DBD yang ditakuti orang dan merupakan perbedaan demam berdarah dengue dengan demam dengue,” ujarnya.

Peningkatan hematokrit sekaligus tanda penderita memerlukan tindakan darurat berupa infus yang cepat dan tepat cairan kristaloid atau koloid, tergantung keburukan serta evaluasi situasi yang terjadi. Tidak jarang kemudian penderita memerlukan perawatan di ruang rawat intensif (ICU).

Pada penderita demam berdarah dengue dapat pula terjadi pendarahan karena adanya gangguan fungsi trombosit sehingga terjadi gangguan pembekuan darah. Jumlah trombosit yang menurun (di bawah 100.000 per mm) juga berpengaruh terhadap terjadi perdarahan. Selain itu, timbul gangguan pemakaian fungsi trombosit sehingga mudah terjadi perdarahan. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan atau shock.

Menurut Alan, hal lain yang juga penting ialah keterangan infeksi virus dengue tersebut terjadi pertama kali atau tidak. Infeksi pertama kali, berarti virus dengue belum pernah masuk ke tubuh anak sebelumnya dan merupakan infeksi primer. ”Inilah yang terjadi pada demam dengue. Pada infeksi berikutnya, penderita dapat terinfeksi oleh virus dengue kembali, tetapi dari jenis atau serotipe yang berbeda. Biasanya gejalanya lebih berat. Ini yang disebut infeksi sekunder dan biasanya disebut DBD,” ujarnya.

Pada dasarnya, infeksi virus dengue merupakan self limiting infection disease yang akan berakhir 2-7 hari. Lantaran tidak ada obatnya, penanganan pasien dengan memberikan cairan cukup guna mengurangi rasa haus dan dehidrasi.

Pada anak, jika volume darah si anak tidak sampai berkurang pada saat terjadi kebocoran plasma, kebocoran itu dapat dihadapi tubuhnya. Biasanya itu dikarenakan anak mempunyai kesempatan dan kesanggupan minum cukup. Sedangkan anak yang tidak bisa minum, atau sering muntah, mempunyai tendensi mudah menjadi shock. Monitor dan perhatian khusus terhadap derajat kehausan dan kemampuan minum si anak sangat penting.

Selain itu, dapat pula diberikan obat penurun panas dengan berhati-hati. Berdasarkan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (1997), pemakaian obat antidemam golongan parasetamol lebih tepat untuk menurunkan demam berdarah dengue.

Asam asetilsalisilat ataupun obat antiinflamasi non-steroid (NSAID), seperti ibuprofen, mempunyai indikasi kontra pada demam dengue ataupun DBD yang dapat menimbulkan risiko perdarahan. Namun, tetap saja kecepatan deteksi dan penanganan ikut menentukan keselamatan penderita dari lubang maut.

Kompas/Indira Permanasari

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com