Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik Lokal dan Paradoks Demokratisasi

Kompas.com - 01/06/2011, 05:25 WIB

Oleh Luqman-nul Hakim

• Judul: Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective

• Penulis: Vedi R Hadiz

• Cetakan: I, 2010

• Penerbit: Stanford University Press

• Tebal: xii + 247 halaman

• ISBN: 978-0-8047-6853-5

Politik lokal bukanlah semata-mata desain netral untuk mewujudkan demokrasi ke tingkat lokal, melainkan sebuah arena kontestasi bagi pelbagai kepentingan ekonomi dan politik untuk menentukan bagaimana kekuasaan dan sumber daya lokal didistribusikan.

Kita tidak bisa mengasumsikan ada homogenitas kepentingan di antara aktor-aktor dalam ranah negara, pasar, dan masyarakat sipil, tanpa memeriksa bentuk-bentuk kepentingan dan kekuatan sosial dalam topografi politik kontestasi kekuasaan di aras lokal.

Dalam beberapa dasawarsa terakhir, wacana pembangunan dan demokratisasi berada dalam dua tarikan besar: globalisasi ekonomi—yang menautkan demokratisasi dan pembangunan dengan kekuatan pasar global—dan desakan lokalisasi kekuasaan, berupa semakin tingginya tuntutan-tuntutan otonomi lokal. Dalam konteks ini, setidaknya ada dua kelompok pemahaman yang dominan.

Kelompok neoliberal/neoinstitusional percaya bahwa globalisasi ekonomi akan mendorong munculnya praktik-praktik dan lembaga-lembaga demokratis di ranah lokal. Mereka percaya pada kaitan alamiah antara pasar bebas global dengan kebangkitan demokrasi dan desentralisasi (hal 2). Integrasi ke dalam ekonomi global diyakini akan mendorong pemerintahan lokal untuk memiliki tanggung jawab dan kapasitas efisiensi dalam pelayanan publik.

Sedangkan kelompok lokal-populis memandang globalisasi ekonomi itu sebagai ancaman bagi komunitas-komunitas lokal, terutama masyarakat marjinal. Globalisasi neoliberal dianggap telah mengandung sifat-sifat yang antidemokratis. Rekomendasi-rekomendasi kebijakan neoliberal juga dinilai terlampau mengabaikan pluralitas sosio-historis masyarakat lokal. Pandangan ini banyak dianut oleh kelompok-kelompok LSM di Indonesia dan umumnya di negara pasca-otoritarian Asia Tenggara.

Namun, sejak awal 1990-an terjadi perubahan besar dalam paradigma pembangunan di kalangan lembaga internasional. Kelompok neoliberal, yang disponsori Bank Dunia, tidak lagi memandang negara sebagai leviathan, pemegang kekuasaan mutlak sebagaimana digambarkan Thomas Hobbes (1651), melainkan sebagai kekuatan yang mampu mengelola jejaring dan hubungan sosial untuk mempercepat pembangunan ekonomi.

Mereka mengubah paradigma pembangunan, dari orientasi pemangkasan peranan negara menjadi pemberdayaan politik akar-rumput. Tidak mengherankan, ketika di Indonesia, juga di Asia Tenggara, kemudian banyak LSM yang anti-neoliberal sekalipun giat dalam program-program yang disponsori Bank Dunia, yang memfokuskan pada komunitas lokal dan partisipasi politik.

Buku Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective ini merupakan studi komparatif tentang pelbagai paradoks agenda demokratisasi di negara-negara pasca-otoritarian Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Sangat berguna untuk memahami kontestasi politik sebagai manifestasi dari dinamika hubungan kekuasaan akibat tekanan globalisasi ekonomi neoliberal dan bangkitnya politik lokal. Dengan kata lain, buku ini merupakan upaya Vedi Hadiz untuk memahami pola-pola reorganisasi kekuasaan pasca-otoritarian melalui lensa politik lokal di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.

Teknokratis dan predatoris

Vedi menata bukunya dalam enam bab besar sebagai kumpulan esai tematik. Bab pertama menyajikan perdebatan kritis tentang hubungan desentralisasi, pembangunan, dan demokrasi. Tidak seperti kelompok neoinstitusionalis, Vedi skeptis dengan hubungan ketiga wacana ini. Memang mereka percaya bahwa masyarakat sipil yang aktif akan menopang demokratisasi melalui peningkatan partisipasi politik dalam pembangunan. Namun, aspek partisipasi ini segera terpinggirkan karena, pada sisi yang lain, mereka juga menegaskan pentingnya dimensi teknokratisme. Dominannya penjelasan terakhir ini dalam pelbagai rekomendasi kebijakan telah melahirkan hegemoni baru: bahwa reformasi local governance hanya bisa dijalankan dengan cara-cara teknokratis dan manajerialis melalui birokrasi negara.

Paradoks-paradoks demokratisasi neoinstitusionalisme di negara-negara bekas rezim otoriter diperiksa dalam bab kedua. Bagian ini mengkaji bagaimana peranan dan kontestasi antara ”elite-elite termodernkan” yang teknokratik pada satu sisi dan ”bosisme lokal” pada sisi yang lain dalam pelbagai kontestasi yang terkait dengan isu lokalisasi kekuasaan.

Literatur-literatur transisi demokrasi pada umumnya berasumsi bahwa demokratisasi di negara pasca-otoritarian adalah ihwal membangun lembaga demokrasi ”yang benar” dan pakta kekuatan elite baru yang ”termodernkan”. Sebaliknya, Vedi menegaskan bahwa ”pembajakan” lembaga-lembaga demokrasi di Indonesia merupakan akibat dari kegagalan reformasi untuk membendung kekuatan oligarkis lama dan koalisi-koalisi predatoris.

Bab ketiga buku ini mendedah kompleksitas politik di Indonesia pasca-otoritarian, terutama tentang dinamika perubahan kelembagaan, termasuk sistem pemilu dan partai politik. Dalam bab ini, Vedi membumikan argumen-argumen besarnya tentang hubungan yang kompleks dan paradoks antara desain reformasi kelembagaan dan pertarungan kekuasaan dalam konteks pengalaman politik desentralisasi di Indonesia.

Dua bab selanjutnya menguraikan bagaimana dan dengan cara apa kekuatan-kekuatan predatoris membajak lembaga-lembaga demokrasi. Tuntutan kontestasi untuk merebut dan mengontrol pelbagai lembaga dan sumber daya lokal semakin mendorong para elite untuk terus menciptakan jejaring kekuasaan predatoris di level lokal (hal 118). Bab kelima secara khusus membahas teknik dan aliansi pembentukan jejaring kekuasaan predatoris di level lokal melalui politik uang dan instrumen-instrumen kekerasan.

Bab terakhir mengkaji perbandingan karakter umum partisipasi politik dan fenomena kebangkitan oligarkisme lokal di Asia Tenggara. Argumen utamanya adalah bahwa demokratisasi yang secara teknokratis didesain untuk memperluas jangkauan partisipasi politik justru menjadi arena baru bagi para elite lokal untuk mengamankan kepentingannya (hal 144).

Melalui kajian perbandingan antara Indonesia, Filipina, dan Thailand, buku ini menjadi ikhtiar Vedi Hadiz untuk menemukan pola-pola kekuasaan baru dalam konteks politik lokal di negara-negara pasca-otoritarian Asia Tenggara. Dengan mengungkapkan keterbatasan-keterbatasan pendekatan yang menekankan pada ”rekayasa” kelembagaan demokrasi, buku ini menjadi kritik fundamental bagi pendekatan neoinstitusional/ neoliberal yang dominan dalam diskursus pembangunan dan demokratisasi selama beberapa dasawarsa terakhir.

Luqman-nul Hakim Peneliti Sosial

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Game 'GTA 6' Dipastikan Meluncur September-November 2025

Game "GTA 6" Dipastikan Meluncur September-November 2025

Game
Instagram Vs Instagram Lite, Apa Saja Perbedaannya?

Instagram Vs Instagram Lite, Apa Saja Perbedaannya?

Software
Menjajal Langsung Huawei MatePad 11.5'S PaperMatte Edition, Tablet yang Tipis dan Ringkas

Menjajal Langsung Huawei MatePad 11.5"S PaperMatte Edition, Tablet yang Tipis dan Ringkas

Gadget
Game PlayStation 'Ghost of Tsushima Director's Cut' Kini Hadir di PC

Game PlayStation "Ghost of Tsushima Director's Cut" Kini Hadir di PC

Game
iPhone dan iPad Bakal Bisa Dikendalikan dengan Pandangan Mata

iPhone dan iPad Bakal Bisa Dikendalikan dengan Pandangan Mata

Gadget
Daftar Harga Gift TikTok Terbaru 2024 dari Termurah hingga Termahal

Daftar Harga Gift TikTok Terbaru 2024 dari Termurah hingga Termahal

e-Business
Membandingkan Harga Internet Starlink dengan ISP Lokal IndiHome, Biznet, dan First Media

Membandingkan Harga Internet Starlink dengan ISP Lokal IndiHome, Biznet, dan First Media

Internet
Smartphone Oppo A60 Dipakai untuk Belah Durian Utuh, Kuat?

Smartphone Oppo A60 Dipakai untuk Belah Durian Utuh, Kuat?

Gadget
Rutinitas CEO Nvidia Jensen Huang, Kerja 14 Jam Sehari dan Banyak Interaksi dengan Karyawan

Rutinitas CEO Nvidia Jensen Huang, Kerja 14 Jam Sehari dan Banyak Interaksi dengan Karyawan

e-Business
Smartphone Meizu 21 Note Meluncur dengan Flyme AIOS, Software AI Buatan Meizu

Smartphone Meizu 21 Note Meluncur dengan Flyme AIOS, Software AI Buatan Meizu

Gadget
Advan Rilis X-Play, Konsol Game Pesaing Steam Deck dan ROG Ally

Advan Rilis X-Play, Konsol Game Pesaing Steam Deck dan ROG Ally

Gadget
5 Besar Vendor Smartphone Indonesia Kuartal I-2024 Versi IDC, Oppo Memimpin

5 Besar Vendor Smartphone Indonesia Kuartal I-2024 Versi IDC, Oppo Memimpin

e-Business
Epic Games Gratiskan 'Dragon Age Inquisition - Game of the Year Edition', Cuma Seminggu

Epic Games Gratiskan "Dragon Age Inquisition - Game of the Year Edition", Cuma Seminggu

Game
Motorola Rilis Moto X50 Ultra, 'Kembaran' Edge 50 Ultra Unggulkan Kamera

Motorola Rilis Moto X50 Ultra, "Kembaran" Edge 50 Ultra Unggulkan Kamera

Gadget
Merger XL Axiata dan Smartfren Kian Menguat, Seberapa Besar Entitas Barunya?

Merger XL Axiata dan Smartfren Kian Menguat, Seberapa Besar Entitas Barunya?

e-Business
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com