Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemerdekaan Ekonomi?

Kompas.com - 15/08/2011, 02:58 WIB

Kwik Kian Gie

Faktor sangat penting yang membakar semangat para pejuang kemerdekaan kita ialah bahwa kemerdekaan politik merupakan jembatan emas menuju kemakmuran yang berkeadilan dan kesejahteraan rakyat.

Dua hari lagi bangsa Indonesia 66 tahun merdeka secara politik. Sebelum Indonesia dijajah, kemerdekaan politik sudah ada dengan kekuasaan di tangan para raja dan sultan. Namun, begitu VOC datang, banyak sekali raja dan sultan yang menjual kekayaan ekonomi beserta rakyatnya—yang diperlakukan bagaikan budak—kepada VOC.

Penjajahan oleh VOC yang dilanjutkan oleh Pemerintah Belanda memang sangat menyengsarakan rakyat kita. Namun, dalam alam kemerdekaan politik, penjajahan yang dilakukan oleh bangsa sendiri yang berkolaborasi dengan bangsa asing tidak kalah dahsyat.

Dalam era kemerdekaan, banyak BUMN vital dijual kepada swasta, baik asing maupun domestik. Namun, yang domestik menjual haknya kepada asing lagi karena malas, tidak mempunyai modal, dan tidak menguasai teknologi. Dengan globalisasi, Indonesia, yang lemah dalam segala bidang, secara membabi buta harus ikut arus itu. Dampaknya, ”gombalisasi” buat bagian terbesar bangsanya. Asing dengan teknologi canggihnya menggunduli hutan kita, menguras ikan, pasir, mengeduk sumber daya mineral. Sekitar 92 persen minyak kita dieksploitasi perusahaan asing. Timika bagaikan kota Amerika yang pemerintahannya Freeport. Kesemuanya ini hanya merupakan puncak gunung es.

Indonesia dibagi-bagi

Bagaikan raja dan sultan pada zaman pra-kemerdekaan, elite bangsa kita sendiri menjual kekayaan alam dan praktis kemerdekaan kita di bidang ekonomi.

John Pilger dalam buku The New Rulers of the World menyebutkan, ”Dalam bulan November 1967, The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Geneva yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang- orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja orang-orang Soeharto yang oleh Rockefeller disebut ’ekonom- ekonom Indonesia yang top’. Pihak Indonesia diwakili pemerintah dengan para menteri ekonomi di bawah pimpinan Widjojo Nitisastro.”

Di halaman 39 ditulis: ”Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ’Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler,’ kata Jeffrey Winters. ’Mereka membaginya ke dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lain kepada wakil-wakil Pemerintah Indonesia”.

”Freeport mendapatkan bukit dengan tembaga di Papua Barat. Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia, dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia”.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com