Jakarta, Kompas
”Kami tidak tahu soal itu dan tidak tahu justifikasi pemberian gelar doktor kehormatan itu,” ujar Prof Emil Salim, salah satu anggota Majelis Wali Amanah (MWA)-UI kepada Kompas, Rabu (31/8). ”Inti masalahnya adalah ketiadaan transparansi dan tata kelola yang baik di UI.”
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 152 Tahun 2000 yang menjadi anggaran dasar UI sebagai badan hukum milik negara (BHMN), Rektor UI adalah anggota MWA. Menurut Emil Salim, MWA sebagai lembaga yang mengangkat dan memberhentikan rektor, bertanggung jawab agar UI berjalan sesuai ketentuan yang disepakati, yang mengacu pada ketentuan akademik.
Pernyataan Emil Salim itu memperlihatkan ketidaktransparanan dan kebuntuan komunikasi antara pihak pimpinan eksekutif UI dan lembaga MWA-UI
Sementara itu, Presidum I Paguyuban Pekerja UI, Dr Andri G Wibisono, dalam pernyataan sikap paguyuban, Senin (29/8), mengatakan, pemberian gelar kepada Raja Abdullah merupakan bukti ketidakdemokratisan dan ketidakilmiahan kebijakan pimpinan UI, ditambah relasi kuasa yang timpang antara otoritas dan lainnya. Paguyuban Pekerja UI menuntut agar gelar itu dicabut.
Persoalan pemberian gelar itu merupakan puncak gunung es karut-marut pengelolaan UI terkait pembatalan BHMN setelah Mahkamah Konstitusi pada 5 April 2010 membatalkan dua undang-undang dasar pelaksanaan BHMN setelah uji materi Pasal 53 Ayat (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terkait BHMN dan UU No 9/ 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Sambil menunggu peraturan baru, terbit PP No 66/2010 yang mengatur tata kelola dan tata laksana perguruan tinggi pada masa transisi tiga tahun.
Dari penelusuran Migrant Care, pemberian gelar pada 22 Agustus 2011 itu dilakukan bersamaan dengan umrah 23 orang yang sumber dananya tak jelas. Dua bulan sebelumnya, Ruyati dihukum pancung, (18/6).
Anis Hidayah dari Migrant Care menengarai pihak Rektorat siap menggelar konferensi pers, Senin (5/9).