Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KEPENDUDUKAN

Tanah Merah Daerah Bebas Warga

Kompas.com - 11/01/2012, 03:09 WIB

Jakarta, Kompas - Tanah Merah, Plumpang, Jakarta Utara, bukanlah daerah yang tepat untuk hunian warga. Selain bukan milik warga, kawasan itu juga berada di dekat obyek vital yang harus dijaga keamanannya.

”Tidak boleh ada pemukiman di sekitar obyek vital. Tidak hanya berbahaya bagi keamanan obyek vital itu sendiri, tetapi juga bagi masyarakatnya,” kata Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo di Balaikota Jakarta, Selasa (10/1).

Menurut Fauzi, Tanah Merah merupakan zona pelindung bagi obyek vital depo Pertamina. ”Kita harus ingat kebakaran besar yang terjadi di depo Pertamina awal 2009 lalu. Apa jadinya jika depo ini terbakar dan meledak, sementara ada pemukiman warga di sekitar,” kata Fauzi.

Sebelumnya, pada Oktober 2008, Detasemen 88 Polri pernah menemukan sejumlah bahan peledak dan senjata api di Tanah Merah. Adanya hunian di Tanah Merah membuat siapa saja bebas masuk-keluar kawasan itu tanpa penjagaan. Akibatnya, pihak-pihak yang berniat tidak baik bisa menyusup dan bersembunyi di kawasan itu dengan bebas.

Kawasan Tanah Merah sebagai kawasan zona pelindung sebenarnya diputuskan oleh pemerintah pusat dan dilontarkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Namun, hingga kini tidak ada realisasinya.

Kesalahan fatal

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Syafruddin Ngulma Simeulue, Selasa, menilai pemerintah pusat dan daerah tidak memiliki skema untuk mengatasi problem kependudukan, seperti kasus warga Tanah Merah di Plumpang.

”Kasus yang sering disebut sebagai warga ilegal, tinggal di tanah negara atau tanah milik pihak lain, banyak terjadi di Jakarta dan daerah lain di Indonesia. Penyelesaiannya tentu tidak bisa dengan mengusir warga begitu saja atau tidak memberikan hak mereka, seperti hak atas identitas berupa KTP, akta kelahiran, dan lainnya,” kata Syafruddin.

Dia sepakat, pendudukan tanah negara yang tidak diperuntukkan untuk pemukiman merupakan perbuatan salah. Namun, pembiaran atas pendudukan itu selama bertahun-tahun oleh pemerintah juga salah dan fatal.

Kewajiban negara, kata Syafruddin, melindungi warganya untuk mendapatkan hak mereka di antara bermacam kewajiban yang mesti dipenuhi.

”Harus ada solusi manusiawi. Pemerintah pusat dan daerah wajib berkomitmen untuk merancang tindakan bermartabat terhadap kasus-kasus seperti ini,” tuturnya.

Syafruddin menambahkan, aneh jika pada saat pemilihan kepala daerah, warga yang dicap tinggal di tanah ilegal bisa memperoleh kartu pemilih. Praktik nembak KTP pun tetap terjadi dengan melibatkan oknum pemerintah.

”Pemerintah sendiri, termasuk Gubernur, bahkan Menteri Dalam Negeri, jangan tutup mata atas hal ini,” katanya.

Di sisi lain, dia mengakui, masih ada anggota masyarakat dengan tingkat ekonomi pas-pasan, tetapi tidak menduduki tanah secara ilegal.

Milik Pertamina

Kawasan Tanah Merah masuk dalam wilayah tiga kelurahan, yakni Rawa Badak Selatan dan Tugu Selatan di Kecamatan Koja serta Kelapa Gading Barat di Kecamatan Kelapa Gading.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 190/HGB/DA/76 tertanggal 5 April 1976, Tanah Merah merupakan milik negara dengan status hak guna bangunan atas nama Pertamina dan pernah dibebaskan tahun 1992 oleh Pertamina dengan pola ganti rugi. Tiga kali proses pengadilan, baik di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, maupun Mahkamah Agung, dimenangi Pertamina.

Total tanah negara mencapai 153 hektar. Area yang digunakan untuk Depo Pertamina Plumpang sekitar 70 hektar, sedangkan yang diokupasi warga sekitar 83 hektar.

Di Depo Plumpang terdapat Unit Pemasaran III Pertamina yang menyalurkan berbagai produk, seperti premium, minyak tanah, solar, biosolar, pertamax, dan pertamax plus. Terdapat juga unit pabrik tabung elpiji.

Depo Pertamina Plumpang ini menerima pasokan BBM dari Kilang Balongan melalui jaringan pipa bawah tanah. Depo juga menyalurkan BBM langsung dengan mobil-mobil tangki ke sekitar 600 SPBU di Jabotabek. Depo ini juga memasok bahan bakar untuk wilayah Bandung serta menjadi penyangga utama bagi Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi.

Sementara itu, hingga kemarin, puluhan warga Tanah Merah masih melanjutkan unjuk rasa menuntut pembentukan RT dan RW serta penerbitan KTP DKI bagi 12.000 warga di depan Kementerian Dalam Negeri. Mereka yang sebagian besar telah tinggal di kawasan itu lebih dari 10 tahun menuntut hak sebagai warga negara.

Camat Koja Dedy Tarmizi yang mengendalikan Kelurahan Tugu Selatan dan Rawa Badak Selatan saat dihubungi terpisah membantah adanya praktik KTP nembak di lingkungan kelurahannya.

”Saya malah baru dengar informasi ini, tapi entah sebelum saya menjadi camat di sini. Yang jelas, sejak saya menjadi camat, Oktober lalu, saya belum pernah mendengar atau menemukan kasus KTP nembak,” ujarnya.

Dedy menyampaikan hal itu menanggapi pernyataan Ketua Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu Muhammad Yudha (31) bahwa sebagian warga Tanah Merah memiliki KTP DKI dengan cara nembak. ”Biaya nembak untuk memperoleh KTP rata-rata Rp 400.000,” ungkap Yudha.

Warga, lanjutnya, melakukan hal itu karena dipaksa sistem agar mendapat fasilitas pendidikan, kesehatan, dan peluang kerja yang menjadi hak mereka. (WIN/NEL/ARN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com