SULTANI
Pertumbuhan jumlah media selama satu dasawarsa terakhir memberi gambaran tentang perkembangan bisnis media. Data dari Merlyna Lim, peneliti dari Arizona State University, mengungkapkan, jumlah media cetak hingga Maret 1999 sebanyak 289 buah. Satu dekade kemudian angka ini telah melonjak menjadi 1.076 buah. Sementara itu, jumlah media elektronik, khususnya televisi (TV), saat ini mencapai 11 stasiun swasta nasional ataupun negara serta lebih dari 100 stasiun TV yang beroperasi di tingkat lokal.
Angka-angka peningkatan itu memperlihatkan satu perubahan cukup signifikan dalam hal kontrol atas kepemilikan media. Periode sebelum tahun 1999, kontrol ketat berada di tangan negara. Eksistensi dan kebebasan media massa sangat ditentukan oleh sensor negara.
Kebebasan informasi hampir-hampir tak bisa terwujud. Saat ini mekanisme pasar menjadi pedoman utama eksistensi dan pengoperasian bisnis media. Perubahan ini pun dalam beberapa hal bisa memengaruhi kecenderungan pola pemberitaan.
Di samping udara ”kebebasan” yang telah dihirup oleh media massa, publik mencermati kecenderungan pola pemaparan media. Dari hasil jajak pendapat Kompas, terungkap bahwa berita yang dipublikasikan oleh media saat ini dinilai bisa membantu publik untuk mengetahui dengan jelas peristiwa atau persoalan yang sedang diberitakan. Penilaian ini diakui oleh 55,7 persen responden yang menganggap pemberitaan media saat ini sudah bisa memperjelas suatu masalah.
Ilustrasi mengenai hal ini bisa diambil dari pemaparan media terhadap kasus korupsi, mafia hukum, atau mafia pajak. Sebut saja penayangan kasus dugaan korupsi yang melibatkan petinggi Partai Demokrat. Publik disuguhi secara cukup rinci perkembangan pengungkapan kasus, bahkan hingga isi percakapan melalui Blackberry Messenger antara beberapa pihak yang terlibat.
Demikian pula halnya dengan pemaparan media terhadap dugaan kasus mafia hukum di tubuh kepolisian. Saat itu, penonton televisi dapat menyaksikan dan mendengarkan secara langsung rekaman pembicaraan antara beberapa pihak yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.
Keberhasilan media mengungkapkan sejumlah persoalan terkait penyelenggaraan negara ke ruang publik itu diapresiasi responden sebagai kemampuan media memberi penjelasan tentang kasus itu. Pengetahuan publik yang semula sumir tentang persoalan ini menjadi lebih jelas ketika kedua kasus ini diungkap media massa. Fungsi ini, menurut publik, menunjukkan media ikut mendorong masyarakat untuk terlibat mengontrol kinerja lembaga negara. Pola penyikapan seperti ini dikemukakan oleh 64,9 persen responden.
Meskipun demikian, menurut publik, isi media tak sepenuhnya berhasil membantu masyarakat ataupun pengambil kebijakan untuk merumuskan solusi. Saat responden survei ini ditanya tentang peran media dalam memberikan solusi atas persoalan bangsa, proporsi yang cukup berimbang memberikan respons positif ataupun negatif. Sekitar 48,7 persen responden survei ini menyatakan, pemberitaan media belum bisa memberi jawaban atas penyelesaian sejumlah persoalan bangsa. Sementara 46,4 persen responden yakin media ikut membantu mencarikan solusi atas persoalan bangsa.