Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemkominfo Bantah Indonesia "Neraka" Pesawat

Kompas.com - 17/05/2012, 13:31 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) membantah bahwa udara Indonesia, maksudnya yang berhubungan dengan pengaturan frekuensi, seperti neraka bagi penerbangan pesawat. Hal tersebut tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kemkominfo Gatot S Dewa Broto mengakui bahwa memang masih sering ada gangguan suara, khususnya bocornya frekuensi saluran komunikasi antara pilot dan petugas komunikasi di menara air traffic controller (ATC).

"Tapi tidak seekstrem seperti yang dibicarakan, bahkan menganggap bahwa udara Indonesia seperti neraka bagi penerbangan pesawat," kata Gatot di Jakarta, Kamis (17/5/2012).

Gatot menambahkan gangguan yang dialami oleh pilot bukanlah pembicaraan dari telepon seluler ataupun fixed wireless access (FWA). Namun, yang mungkin masuk adalah suatu stasiun radio tertentu di darat dan karena interferensi dengan komunikasi penerbangan, maka akan berakibat langsung masuk ke komunikasi di kokpit pesawat.

Hingga saat ini, Kemkominfo belum pernah melihat fakta bahwa akibat pelanggaran (interferensi) frekuensi radio telah menyebabkan korban jiwa. Namun untuk menghindari segala kemungkinan kecelakaan yang terjadi, maka perangkat seluler sudah harus dimatikan menjelang pesawat akan terbang (take off) hingga pesawat mencapai akhir penerbangan.

"Itu (mematikan ponsel) yang benar," tambahnya.

Sekadar catatan, pilot senior Garuda Indonesia Kapten Adrian Jeffery Asmara menjelaskan, frekuensi saluran komunikasi antara pilot dan petugas komunikasi di menara ATC masih bisa bocor. Bahkan, pilot-pilot saat mengudara di wilayah Indonesia masih bisa mendengar siaran radio dangdut atau komunikasi ponsel yang tidak seharusnya terjadi.

Ganggu frekuensi pilot

Kementerian Komunikasi dan Informatika juga membenarkan bahwa frekuensi radio FM terkadang bisa mengganggu frekuensi penerbangan. Hal itu disebabkan frekuensi radio hampir berdekatan dengan frekuensi penerbangan.

"Bila frekuensi radio ada di 88-107 MHz, sementara frekuensi navigasi ada di pita 108-118 MHz, dan frekuensi komunikasi penerbangan pada pita 118-137 MHz," tambahnya.

Namun, frekuensi radio tersebut sebenarnya sudah ditertibkan. Masalahnya, masih ada masyarakat yang memakai frekuensi tersebut sebagai radio ilegal, baik pemancar tidak berizin, peralatan tidak diinstalasi dengan sempurna, tidak dioperasikan sesuai persyaratan, maupun kondisi perangkat yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku.

"Akibatnya sering terjadi spurious emission frekuensi yang timbul pada frekuensi penerbangan," tambahnya.

Penyebab lain dari gangguan frekuensi penerbangan adalah penggunaan frekuensi secara ilegal oleh kapal nelayan pada frekuensi penerbangan di pita HF. Gangguan ini menyebabkan tertutupnya komunikasi HF pada penerbangan, dan biasanya dapat mengganggu komunikasi penerbangan di negara lain.

Sanksi hukum

Dengan demikian, bila ada pihak-pihak tertentu yang memakai spektrum frekuensi radio tidak berizin, atau mungkin sudah berizin, tetapi tidak sesuai dengan peruntukannya, melebihi power yang ditentukan, dan atau menggunakan perangkat yang tidak resmi bersertifikat dari Kementerian Kominfo, maka akan dikenai sanksi pidana.

Hal itu sesuai dengan UU Telekomunikasi, khususnya Pasal 53 Ayat (1) yang menyebutkan, barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Ayat (1) atau Pasal 33 Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000 (empat ratus juta rupiah).

Juga disebutkan pada Ayat (2) bahwa apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, maka pelanggar dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com