Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Penyelenggaraan 4G LTE di Indonesia

Kompas.com - 09/01/2013, 13:52 WIB

Aditya Panji/KompasTekno Narasumber acara diskusi "Di Mana Rumah bagi LTE Dari kiri ke kanan: Peneliti ICT Institue Heru Sutadi, pemerhati teknologi Gunawan Wibisono dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Ridwan Effendi dari BRTI, Director Engagement Practice Ericsson Indonesia Rustam Effendie, dan penyelenggara acara Arif Pitoyo


JAKARTA, KOMPAS.com
- Indonesia sedang bersiap-siap menggelar jaringan Long Term Evolution (LTE) yang kabarnya akan digelar mulai tahun 2013 ini. Namun, hingga kini pemerintah belum menentukan alokasi spektrum frekuensi untuk menggelar jaringan LTE.

Menurut penelitian yang dilakukan Global Mobile Suppliers Association pada November 2012, jaringan LTE atau yang sering disebut 4G ini, paling banyak berjalan di frekuensi 1.800MHz. Pemanfaatan 1.800MHZ sebagai "rumah" bagi LTE didukung dengan adanya 130 perangkat, termasuk 26 ponsel pintar dari produsen terkemuka.

Posisi kedua dan ketiga yang paling banyak digunakan untuk LTE adalah frekuensi 2.600MHz dan 700MHz.

Ridwan Effendi dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), mengatakan, rencana pemerintah mulai mempersiapkan LTE beserta regulasinya setelah seleksi dua blok kanal 3G di 2.100MHz rampung. "BRTI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika sedang mengkaji penyelenggaraan LTE di 1.800MHz," kata Ridwan dalam diskusi telekomunikasi "Di Mana Rumah bagi LTE?, pada Selasa (8/1/2013) di Jakarta.

Bahkan, ada juga wacana menggelar LTE di 2.100MHz. Namun, secara ekosistem global, frekuensi tersebut tidak menjadi favorit penyelenggaraan LTE.

Operator seluler Telkomsel dan Indosat telah mengajukan proposal untuk menggelar LTE di 1.800MHz. Namun, XL Axiata menunda lantaran mereka hanya memiliki alokasi frekuensi kecil. Di 1.800MHz, Telkomsel memiliki rentang pita seluas 22,5MHz, Indosat 20MHz, Axis 15 MHz, dan Hutchinson CP Telecom (Tri) 10 MHz, dan XL Axiata hanya 7,5 MHz.

"Besar kemungkinan XL keberatan jika LTE digelar di 1.800MHz, karena mereka hanya punya alokasi frekuensi kecil," kata peneliti telekomunikasi dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi.

Heru menjelaskan, alokasi frekuensi di 1.800MHz kondisinya tidak berimbang dan tidak berdampingan. Menurutnya, pemerintah sebaiknya menata kembali alokasi frekuensi di 1.800MHz jika ingin menggelar LTE di frekuensi tersebut. "Alokasi frekuensi harus merata dan dibuat berdampingan. Satu operator butuh alokasi frekuensi 15MHz sampai 20MHz jika ingin jaringan LTE-nya optimal," jelas Heru.

Pendapat Heru dibantah oleh Ridwan. "Realokasi frekuensi di 1.800MHz sulit dilakukan. Berat untuk meminta operator mengembalikan frekuensi yang mereka punya 1.800MHz. Ini sejarah yang sudah tercatat, dan mereka juga membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi radio," bantah Ridwan.

Alternatif di 700MHz dan 2.600MHz

Selain 1.800MHz, jaringan LTE juga banyak digelar di 700MHz dan 2.600MHz. Namun, saat ini kedua frekuensi itu telah dialokasi untuk layanan lain. Pita 2.600MHz dipakai televisi satelit dan 700MHz dipakai untuk televisi analog.

Heru berpendapat, sebaiknya pemerintah mempercepat program televisi digital agar 700MHz bisa dipakai untuk LTE. Seperti diketahui, program televisi digital dari Kemenkominfo rencananya baru rampung 2018.

Secara teori, penyelenggaraan LTE di frekuensi rendah menguntungkan dari sisi jangkauan yang semakin luas. Sedangkan frekuensi tinggi memiliki sifat jangkauan yang sempit.

Director Engagement Practice Ericsson Indonesia, Rustam Effendie menyarankan, jaringan LTE digelar di 700MHz. "Frekuensi rendah jangkauannya lebih luas sehingga operator dapat mengurangi anggaran belanja infrastruktur BTS untuk memperluas jangkauan," Rustam menyarankan.

Pemerhati teknologi Gunawan Wibisono dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, berpendapat, ada baiknya pemerintah jangan terburu-buru dalam menyelenggarakan LTE. Karena, ada banyak langkah yang harus dilakukan, termasuk menyiapkan jaringan backbone dan regulasinya, serta melihat pertumbuhan ekosistemnya di pasar global.

"Teknologi LTE bisa disebut baru, dan harganya saat ini masih mahal. Kalau membeli beberapa tahun kemudian, harganya akan turun dan kualitasnya bisa lebih baik," tegasnya.

Berkaca dari implementasi 3G di Indonesia pada 2006, pada akhirnya, 3G baru bisa booming sekitar 2009. Hingga sekarang, infrastruktur 3G pun dianggap belum merata.

LTE diprediksi banyak pihak sebagai jaringan nirkabel standar baru untuk meningkatkan kapasitas dan kecepatan 3G. LTE menggunakan radio yang berbeda, tetapi tetap menggunakan dasar jaringan GSM/EDGE dan UMTS/HSPA. Di sisi lain, LTE masih dikeluhkan konsumen di sejumlah negara maju karena biaya berlangganan yang mahal dan menyedot banyak bandwidth.

Alokasi frekuensi harus diatur dan jangan terkesan hanya "bagi-bagi kue," mengingat harga BHP frekuensi radio tidaklah murah. Diharapkan, penyelenggaraan LTE dibuat sematang mungkin agar tak bernasib seperti WiMax yang kini stagnan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com