Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
PILKADA SUMATERA UTARA

Kuasa dalam Jerat Primordialisme

Kompas.com - 07/03/2013, 08:10 WIB

Oleh: BESTIAN NAINGGOLAN & LUHUR FAJAR

Persaingan perebutan kursi kepala daerah Sumatera Utara tidak beranjak dari upaya penguasaan suara pemilih yang mengandalkan kekuatan kesamaan identitas primordial. Kepemimpinan yang terbentuk dari pola semacam ini berpotensi memperlebar jurang pemerataan kesejahteraan warga.

Seperti ajang kontestasi lima tahun sebelumnya, dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada) kali ini, lima pasang calon gubernur-wakil gubernur tampil dengan kombinasi latar belakang sosok yang sarat dengan identitas primordialisme suku dan agama.

Kelima pasangan, yaitu Gus Irawan Pasaribu-Soekirman, Effendi MS Simbolon-Jumiran Abdi, Chairuman Harahap-Fadly Nurzal, Amri Tambunan-RE Nainggolan, dan Gatot Pujo Nugroho-Tengku Erry, adalah rumusan kombinasi pasangan yang tak berbeda jauh dengan kondisi Pilkada 2008. Proporsi kelompok suku Jawa, Batak, dan Melayu berkelindan dengan agama Islam atau Kristen yang dianut oleh setiap kandidat menjadi senjata dalam memikat pemilih.

Hasil Pilkada 2008 memperlihatkan korelasi identitas primordial kandidat dan pilihan pemilih. Pasangan pemenang Pilkada 2008, Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho, misalnya, menguasai Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Langkat, Binjai, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, Batubara, Asahan, dan Tanjung Balai.

Pasangan Tritamtomo-Benny Pasaribu saat itu unggul, antara lain, di Kabupaten Pematang Siantar, Samosir, dan Simalungun. Pasangan RE Siahaan-Suherdi menguasai Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Tapanuli Tengah, Sibolga, Dairi, dan Pakpak Bharat. Pasangan Abdul Wahab Dalimunthe-Muhammad Syafii di antaranya unggul di Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Sidimpuan, dan Labuhan Batu. Pasangan Ali Umri-Maratua Simanjuntak menguasai pemilih di Kabupaten Mandailing Natal. Wilayah kemenangan pasangan calon itu adalah kantong pemilih dengan konfigurasi agama dan suku yang spesifik dan selaras dengan identitas setiap calon gubernur-wakil gubernur.

Strategi penguasaan pemilih tak lepas dari proporsi dan karakter masyarakat Sumut yang secara sosial terfragmentasi. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, sekitar 13 juta penduduknya terbagi atas suku Jawa sebanyak 33,4 persen, Batak Toba (22,3 persen), Batak Mandailing (9,5 persen), Nias (7,1 persen), Melayu (6,0 persen), Batak Karo (5,5 persen), Batak Angkola (4,1 persen), Tionghoa (2,7 persen), Minang (2,6 persen), Batak Simalungun (2,4 persen), Aceh (1,0 persen), Batak Pakpak (0,8 persen), dan suku lain sekitar 2,6 persen. Dari sisi agama, tercatat 66 persen pemeluk Islam, 31 persen Kristen (Protestan/Katolik), dan 3 persen agama lain.

Proporsi keragaman penduduk itu ternyata tersebar tidak merata dan menciptakan kantong etnisitas dan agama tertentu. Wilayah Pantai Timur Sumut dikenal dengan daerah konsentrasi suku Jawa, Melayu, dan yang sebagian besar beragama Islam. Wilayah Tapanuli Selatan dengan kekhasan suku Mandailing yang sebagian besar beragama Islam. Sebaliknya, wilayah Tapanuli Utara bersuku Batak Toba yang sebagian besar beragama Kristen.

Penelusuran lebih jauh menunjukkan, politik berbasis pada identitas semacam ini terbentuk sedemikian lama. Sejak Pemilu 1955, misalnya, persaingan partai berbasis agama seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan kekuatan Partai Nasional Indonesia (PNI) di Sumut ketat. Jika Masyumi di sejumlah wilayah Sumatera lainnya mampu mendominasi, di Sumut hanya meraih 24 persen, disaingi oleh PNI (20 persen) dan Parkindo (18 persen). Perolehan tiap-tiap partai politik pun terkonsentrasi pada wilayah yang memang dikenal sebagai basis kekuatan etnis dan agama.

Pola penguasaan pemilih berdasarkan konfigurasi identitas semacam ini menjadi jamak. Masyarakat pun cenderung larut, bahkan sebagian menikmatinya. Seolah tidak pernah lepas dari ”tradisi” yang ingin dipertahankan, kepala daerah bagi mereka harus sosok yang merepresentasikan identitas sosialnya ketimbang kualitas personanya. Gagasan dan tawaran program kerja setiap calon hanya sebatas lampiran di balik tebalnya uraian suku, agama, dan asal kelahiran.

Dalam situasi seperti ini, patut dipertanyakan, sejauh mana arus pencarian pemimpin yang berpangkal pada kesamaan identitas sosial berdampak bagi kesejahteraan masyarakatnya?

Beban kesejahteraan

Sejauh ini, perjalanan Sumut dalam upaya memenuhi kesejahteraan masyarakatnya juga belum menunjukkan pencapaian yang gemilang. Hasil kajian Litbang Kompas terkait dengan pencapaian kualitas sosial ekonomi masyarakat, baik kualitas pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar, maupun perekonomian Sumut, tak menonjol. Akan tetapi, tidak pula dikatakan Sumut dalam posisi yang terbawah dibandingkan dengan wilayah lain.

Apabila dikaji secara nasional, terutama dibandingkan dengan provinsi yang dikenal menonjol sebagai pusat kegiatan ekonomi nasional, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, pencapaian Sumut terlihat kurang menggembirakan. Indeks Kesejahteraan Sumut 2011 sebesar 252,7. Posisi kesejahteraan Sumut ini hanya setingkat di atas Sulawesi Selatan (246,5) dan jauh di bawah DKI Jakarta (304).

Dalam konteks regional Sumatera, posisi Sumut pun hanya berada pada titik rata-rata indeks kesejahteraan seluruh Sumatera sebesar 252,5. Sekalipun ada di atas Provinsi Aceh, Lampung, dan Bengkulu, Sumut masih di bawah pencapaian Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Riau, dan Sumatera Selatan.

Tidak kurang mengkhawatirkan, selama lima tahun terakhir (2007-2011), rata-rata pertumbuhan Indeks Kesejahteraan Sumut hanya sekitar 1,5 persen per tahun. Pertumbuhan itu bahkan terendah di Sumatera, sekaligus menunjukkan kurang agresifnya geliat kesejahteraan provinsi ini.

Lambatnya Sumut akan lebih mencolok jika dikaji berdasarkan pertumbuhan pada semua kabupaten dan kota. Yang terlihat, selain laju kesejahteraan antarkabupaten dan kota tidak agresif, jurang pemerataan kesejahteraan masyarakat antardaerah tergolong cukup lebar. Sebagai pembanding, indeks kesejahteraan tertinggi ada pada Kota Medan sebesar 271,6. Terendah di Kabupaten Nias Selatan sebesar 142,7 (Grafik). Artinya, derajat kesejahteraan di Kota Medan hampir dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan Nias Selatan.

Di sisi lain, tingginya laju pemekaran wilayah di Sumut selama ini pun belum mampu memberikan dampak positif bagi kesejahteraan warganya. Sejak tahun 1998, Sumut yang sebelumnya hanya memiliki 17 kabupaten dan kota kini melonjak menjadi 33 kabupaten dan kota. Namun, ironisnya, hingga kini nyaris sebagian besar daerah yang dimekarkan itu belum mampu meningkatkan indeks kesejahteraan warganya.

Malah yang terjadi, kecuali wilayah yang dimekarkan menjadi wilayah kota, sebagian besar indeks kesejahteraan wilayah baru hasil pemekaran lebih rendah daripada wilayah induknya. Hal demikian di antaranya terjadi pada Kabupaten Nias yang dimekarkan menjadi Nias Selatan, Nias Barat, dan Nias Utara. Juga pemekaran Kabupaten Tapanuli Tengah menjadi Humbang Hasundutan, pemekaran Dairi menjadi Pakpak Bharat, Kabupaten Tapanuli Selatan menjadi Padang Lawas dan Padang Lawas Utara, serta sejumlah daerah pemekaran lain. Inilah pergulatan riil Sumut yang kini tengah mencari sosok pemimpinnya. (LITBANG KOMPAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com