Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DESTABILISASI KOREA

Perang Dingin yang Memanas Tanpa Strategi

Kompas.com - 11/03/2013, 02:34 WIB

Oleh René L Pattiradjawane

Memanasnya Semenanjung Korea dalam sepekan terakhir membenarkan pemahaman bahwa Perang Dingin yang tersisa pada abad ke-21 ini belum usai. Para ahli strategi ataupun pemikir politik internasional masih terjebak dalam pola pikir Perang Dingin tentang perimbangan kekuasaan. Semenanjung Korea dihadapkan pada situasi baru yang penuh ancaman, membuat keseluruhan situasi Asia Timur menjadi pelik.

Ketika Resolusi 2094 Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa (DK PBB) sebagai sanksi terhadap uji coba rudal jarak jauh dan nuklir bawah tanah Korea Utara (Korut) disepakati 15 negara anggota DK PBB, kontrareaksi Korut adalah membatalkan seluruh perjanjian gencatan senjata dengan Korea Selatan (Korsel). Korut juga memutuskan hotline menghubungkan Seoul-Pyongyang, sarana komunikasi strategis kedua negara.

Ketegangan baru muncul di Semenanjung Korea, kini dalam dimensi berbeda, ketika hampir semua negara yang berkepentingan tengah berbenah diri mempersiapkan kebijakan dasar politik luar negeri mereka.

China menunggu pelantikan Sekretaris Jenderal Partai Komunis China Xi Jinping menjadi presiden menggantikan Hu Jintao. Di Korsel, Presiden Park Geun-hye yang baru dilantik sebagai presiden masih berkutat dengan pembentukan kabinet. Di Tokyo, Perdana Menteri Shinzo Abe berupaya keras memulihkan perekonomian Jepang melalui resesi panjang. Dia juga tengah mencari solusi agar klaim tumpang tindih kedaulatan dengan China di Kepulauan Senkaku tak menjadi konflik terbuka.

Di Washington, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama memberikan peluang kepada menteri luar negeri baru, John Kerry, menyesuaikan diri dengan politik global AS, terutama terkait ”kebijakan poros” Washington soal perimbangan ulang pengaruh AS di kawasan Asia-Pasifik. Sejauh ini, belum ada komentar yang disampaikan Presiden Rusia Vladimir Putin mengenai perkembangan Semenanjung Korea.

Masih ragu

Membaca Resolusi 2094 DK PBB soal sanksi terhadap Korut, tak ada yang baru dibandingkan dengan resolusi sebelumnya, ketika Pyongyang menggelar uji coba nuklir pada Oktober 2006, Mei 2009, dan Februari 2013. Yang baru adalah frustrasi China terhadap Korut, yang dianggap bagian dari satelitnya menjaga stabilitas dan perdamaian di Semenanjung Korea.

Destabilisasi Semenanjung Korea dalam perspektif China hanya akan mendorong aliansi AS-Jepang-Korsel, mendorong stimulasi militerisme Jepang, dan mendorong percepatan penggelaran pertahanan anti-rudal.

Pada saat bersamaan, destabilisasi Semenanjung Korea seperti masuk situasi ala Perang Dingin tanpa lawan jelas dan nyata, seperti Uni Soviet lama dengan Pakta Warsawa-nya.

Ketegangan yang dibentuk Korut dalam destabilisasi Semenanjung Korea mungkin harus dipahami dalam perspektif lain. Tidak lagi melulu pada persoalan uji rudal jarak jauh dan ledakan nuklir bawah tanah.

Sejak 2006 sampai sekarang, tak ada yang bisa dilakukan sejumlah negara dengan membiarkan Pyongyang melakukan tujuan-tujuan propagandanya.

Penggetaran (deterrence) sebagai tulang punggung politik internasional dan keamanan nasional masa Perang Dingin di Semenanjung Korea menjadi tidak memiliki logika, efektivitas, dan tujuan yang pasti. Posisi AS dalam situasi ini seperti tersesat dan berharap dukungan China untuk menjatuhkan sanksi konkret atas Korut.

Fanatisme agresif

China menyadari, destabilisasi Semenanjung Korea bisa mengarah pada perubahan rezim Pyongyang dan memicu eksodus rakyat Korut secara masif ke wilayahnya. Perimbangan kekuatan di Semenanjung Korea, termasuk rekonsiliasi Korea, menjadi dilema bagi Beijing.

Seoul dan Tokyo memiliki pertimbangan sendiri menghadapi ancaman Kim Jong Un. Ancaman rudal jarak dekat Korut atas posisi pasukan AS di Korsel dan Jepang dengan sendirinya menjadi ancaman serius yang harus diperhitungkan secara matang.

Kebijakan poros AS tanpa strategi penggertak menjadi tak berarti dalam destabilisasi Semenanjung Korea. Deterensi dalam strategi militer Perang Dingin bukan menjadi alat penggertak belaka, melainkan ramuan strategi dalam mengepung dan mengecilkan pengaruh lawan memenangi situasi tanpa harus menuju Perang Dunia III.

Perspektif Pyongyang sangat jelas, mengabaikan peringatan dunia tentang uji coba nuklir dan peluncuran rudal bulan lalu. Kim Jong Un sebagai ”anak kecil” yang berkuasa pun mulai mengerti strategi penggertakan ini. Ada pancingan strategi eskalasi pertahanan yang dia harapkan dari lawan-lawannya yang berkepentingan di Semenanjung Korea.

Perilaku Kim Jong Un mencerminkan fanatisme agresif dan perilaku teroris yang sudah ada bertahun-tahun dan tidak berubah. Jong Un seolah-olah mengatakan, ”Anda tidak akan memenangi perang dan mengubah Semenanjung Korea. Tempat ini telah melahap tentara Anda. Hentikan rencana muluk, mari duduk dan diskusi bagaimana tentara AS meninggalkan Korea dan kita bisa hidup berdampingan secara damai.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com