Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sensor Internet Tak Bisa Selesaikan Masalah

Kompas.com - 24/04/2013, 14:25 WIB

sxc.hu/Vangelis Thomaidis


Penulis: Merry Magdalena

KOMPAS.com - Belum lama terbetik lima siswa Sekolah Dasar (SD) di Poso, Sulawesi Selatan, memperkosa teman sekelasnya. Setelah ditanya, lima anak tersebut mengaku terdorong untuk memperkosa setelah melihat foto porno di ponsel. Masih hangat di berita, seorang siswi SMP di Jakarta Timur jadi korban perkosaan dan penyekapan oleh lima “teman” Facebook-nya.  Korban dibujuk untuk kopi darat dengan iming-iming akan diberi smartphone. Kemudian gadis belia ini dibawa ke rumah kontrakan, dan di sana disekap berhari-hari.

Dalam beberapa tahun terakhir, kasus penculikan, perkosaan, terhadap remaja dan anak-anak, yang berawal dari social media maupun internet, seolah sudah menjadi berita sehari-hari. Miris rasanya, teknologi yang semestinya mempermudah aktivitas manusia justru dimanfaatkan untuk hal kriminal. Terlebih lagi korbannya anak dan remaja.

Apa yang harus diperbuat? Memblokir? Menyensor? Memfilter? Melarang anak-anak mengakses social media sama sekali? Mustahil. Ada lebih dari 43 juta pengguna Facebook di Indonesia, demikian dilansir Sociobalkers.com tahun lalu. Tahun ini pasti angka itu sudah membengkak.  Sebagian besar dapat dipastikan adalah anak-anak dan remaja. Aturan bahwa user facebook harus di atas 16 tahun agaknya tak dihiraukan. Memalsukan usia di dunia maya bukan hal sulit.

Kita tidak bisa membendung arus informasi dan kemajuan teknologi. Semuanya adalah imbas dari kemajuan peradaban. Sulit juga jika harus memblokir kemajuan teknologi dan informasi ke anak dan remaja. Sebab kebijakan pemblokiran hanya akan menuai masalah baru, yakni peretasan alias pembobolan.

Memblokir informasi juga cenderung membuat orang tua merasa segalanya sudah aman-aman saja, padahal tidak. Komputer dan gadget di rumah bisa saja difilter, disterilkan dari aneka akses ke situs porno maupun social media.

Namun apakah anak dan remaja akan diam saja? Tentu tidak. Semakin dilarang, mereka akan semakin penasaran. Boleh saja mereka berkelakuan manis di rumah, tidak mengakses situs porno atau bermain Facebook, sebab semua komputer sudah difilter. Tapi mereka bisa pergi ke Warnet, meminjam laptop teman, atau membuka web apa saja di ponselnya.

Ingat, sekarang ponsel  standar sekali pun sudah didukung browser. Tindakan yang dilakukan diam-diam, tanpa sepengetahuan orang tua, justru akan jauh lebih berbahaya ketimbang yang dilakukan secara transparan. Sebab tidak ada lagi yang dapat mengontrol mereka.

Banyak orang tua kecolongan, merasa anaknya berkelakuan baik di rumah, tidak pernah membuka situs porno, tahu-tahu justru berbuat asusila. Setelah diselidiki, ternyata si anak mengakses situs porno di warnet atau rumah teman.

Ada pula sikap abai orang tua, yang menganggap anaknya akan baik-baik saja dibebaskan mengakses berbagai informasi tanpa pembekalan pesan moral apapun. “Ah, biar saja. Zaman sudah modern, kita orang tua bebaskan saja mereka, nanti kalau tidak dibilang ketinggalan zaman.”

Orang tua membelikan semua gadget yang dibutuhkan anak, dan membebaskan mereka asyik di dalamnya. Kemudian orang tua pun sibuk sendiri dengan gadget-nya. Bahkan ada pula orang tua yang justru senang kalau anak-anaknya sibuk dengan gadget, sebab tidak akan rewel dan menganggu ketenangan. Mereka dibiarkan bermain games berjam-jam tanpa batas waktu, atau asyik di depan Facebook tanpa monitor.

Kita tidak perlu mencari siapa yang bersalah. Facebook, video games, Twitter, situs porno, atau apapun itu, hanyalah teknologi buatan manusia. Tentunya bisa dikendalikan manusia.

Anak-anak dan remaja, adalah user teknologi, yang bisa saja euphoria terhadap kemajuan teknologi, sehingga mudah percaya dengan konten di dalamnya.  

Sementara orang tua, adalah pembimbing anak, yang kemungkinan masih gagap teknologi, sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang mampu memahami bagaimana menyikapi kemajuan teknologi dan euforia anak.

Sekali lagi, jangan salahkan teknologi, sebab itu hanya alat buatan manusia. Kitalah manusia yang memegang kendali atasnya.

* Tentang Penulis: Merry Magdalena, pengamat social media, founder Netsains.Net, penulis buku Situs Gaul Gak Cuma buat Ngibul (Gramedia Pustaka Utama), Melindungi Anak dari Seks Bebas (Grasindo), UU ITE, Don’be The Next Victim (Gramedia Pustaka Utama), dan empat buku lain.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com