Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sains, TI dan Ujung Tombak Kemanusiaan

Kompas.com - 24/10/2013, 17:15 WIB

Dalam sesi retreat, yang lebih banyak konten informal, dapat lebih dikaji permasalahan apa yang dihadapi oleh grup secara lebih komprehensif, baik problem internal ataupun eksternal.

Jadi, sains sama sekali tidak bisa dikembangkan secara ‘science for science’, namun memerlukan kordinasi manajerial juga, dalam rangka menghasilkan output yang sesuai dengan SOP yang telah ada. Di sini, hubungan antar manusia memainkan peranan penting, sebab kebersamaan yang solid merupakan kunci dalam menyelesaikan proyek riset tersebut.

Hanya manajemen proyek yang paripurna, yang dapat memberikan kontribusi dalam menyelesaikan berbagai macam masalah kemanusiaan.

Dalam beberapa kasus di sains informatika atau teknologi informasi, pemberian kredit atau kum justru tidak hanya kepada manusia, namun juga bisa kepada komputer. Hal ini terjadi, ketika Doron Zeilberger, ahli matematika dari USA, membubuhkan nama ‘Shalosh B.Ekhad’, dalam daftar autor, pada publikasi ilmiah milikinya.

Siapakah Shalosh? Ternyata, dia bukan manusia, namun sebuah komputer. Hal ini menunjukkan, bahwa tidak hanya manusia yang mendapat kredit dalam pengembangan sains, namun komputer juga harus mendapat recognition. Dalam konteks manajemen proyek, hal ini adalah pengakuan bahwa ‘mesin’ sekalipun harus mendapat recognition yang pantas.

Manusia dan Sains dalam naungan IT

Sains untuk manusia, atau manusia untuk sains? Di negara maju, sains tidak harus mengabdi pada kemanusiaan, sebab negara sudah memberikan bantuan kepada warga yang membutuhkan nafkah dan pekerjaan.

Oleh sebab itu, ilmuwan dapat saja fokus pada episteme ‘science for science’. Hanya saja, kita yang merupakan negara berkembang, masih memerlukan kontribusi pemikiran akan berbagai masalah multi-dimensi yang dihadapi bangsa kita.

Jika kita meminta negara menyelesaikan permasalahan bangsa, tanpa kita melakukan apa-apa, adalah suatu pemikiran atau tindakan yang sangat egois.

Indonesia adalah negara yang berproses menjadi welfare state, dan masih jauh untuk menjadi welfare state itu sendiri. Akan sangat baik, jika setiap warga negara, siapapun kita, dan apapun profesi kita, paling tidak ikut urun rembuk memikirkan permasalahan bangsa yang riil, baik itu masalah kesehatan, pangan, lingkungan, keamanan, transportasi, dan lainnya.

Di sini, pemetaan masalah kemanusian, maupun pengembangan alur penyelesaiannya, hanya dapat dilakukan dengan penguasaan TI yang baik. Penelitian TI telah menjadi semakin terjangkau, terutama semenjak ditemukannya teknologi cloud computing, di mana utilisasi sumber daya komputasi dapat di-outsourcing kepada pihak ketiga, sehingga menghilangkan komponen biaya pemeliharaan supercomputer.

Pemanfaatan TI seyogyanya menjadikan manusia semakin bijak, sebab dengan paradigma open source, tidak hanya satu orang saja yang seyogyanya mendapat kredit dalam pengerjaan suatu proyek, namun komunitas tersebut secara keseluruhan harus mendapat recognition.

(Dok. Pribadi)

*Tentang Penulis: Dr.rer.nat Arli Aditya Parikesit adalah alumni program Phd Bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman; Peneliti di Departemen Kimia UI; Managing Editor Netsains.net; dan mantan Koordinator Media/Publikasi PCI NU Jerman. Ia bisa dihubungi melalui akun @arli_par di twitter, https://www.facebook.com/arli.parikesit di facebook, dan www.gplus.to/arli di google+.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com