Di AS, mereka mengalami masa-masa sulit. Keluarga Koum tinggal di apartemen kecil dengan dua kamar tidur hasil bantuan pemerintah. Mereka terpaksa bergantung pada jaminan sosial dan mengantre kupon makanan karena tak punya uang.
Koum pun bekerja sebagai tukang sapu di sebuah toko untuk memenuhi kebutuhan hidup, sementara ibunya mengambil profesi baru sebagai baby sitter.
Ayah Koum tak ikut bermigrasi. Pria yang bekerja di sektor konstruksi ini memilih tinggal di Ukraina. Begitu terpisah, Koum mengaku tak bisa sering-sering menghubungi sang ayah karena mahalnya biaya telepon. "Jika saja ketika itu saya sudah bisa berkirim pesan instan ke ayah…" ujar Koum berandai-andai dalam wawancara dengan Wired.
Bersekolah
Saat masih tinggal di Ukraina, keluarga Koum hidup di sebuah desa di luar ibu kota Kiev. Dia pergi menuntut ilmu di sebuah sekolah yang keadaannya begitu memprihatinkan sampai-sampai tak punya kamar kecil.
"Bayangkan suhu di luar minus 20 derajat celsius, anak-anak harus berlari menyeberangi lapangan untuk ke kamar kecil… Saya baru punya komputer saat umur 19 tahun, tetapi pernah memiliki sempoa," kenang Koum. Sesampainya di rumah, Koum kecil terpaksa bergelap-gelap karena tak ada sambungan listrik ataupun air panas.
Begitu pindah ke Amerika dan mulai bersekolah di sana, keluarga Koum adalah satu-satunya di kelas yang tidak memiliki mobil. Jadilah Koum terpaksa bangun lebih pagi untuk mengejar bus. Sang ibu menjejali koper yang dibawa dari negeri asal dengan pulpen dan buku tulis cetakan Uni Soviet untuk menghemat biaya peralatan sekolah.
Datang dari negeri seberang, Koum ketika itu tak pandai berbahasa Inggris. Koum beberapa kali terlibat masalah karena "membalas anak lain yang mengganggu". Untung, dia terbantu dengan postur badan yang tinggi menjulang mencapai 188 cm. "Hidup di Ukraina tak mudah dan membuat saya tangguh secara fisik dan mental," katanya lagi.
Koum kemudian masuk kuliah, mempelajari ilmu komputer dan matematika, tetapi tidak sampai selesai. "Prestasi saya buruk, ditambah lagi dengan rasa bosan."
Maka, dia pun memutuskan drop out, lalu mulai bekerja sebagai pembungkus barang belanjaan di supermarket, setelah itu di toko elektronik, internet provider, hingga perusahaan audit. Sampai kemudian pada 1997 Koum bertemu dengan Brian Acton dari Yahoo. Enam bulan setelahnya, Koum mulai bekerja di Yahoo.
Mendirikan WhatsApp
Koum menjalin persahabatan dengan Acton, yang banyak membantu Koum ketika sempat hidup sebatang kara setelah ibunya meninggal pada tahun 2000. Sang ayah telah lebih dulu wafat pada 1997. "Dia (Acton) sering mengajak saya ke rumahnya," tutur Koum.
Menghabiskan sembilan tahun bekerja di Yahoo, termasuk Yahoo Shopping, Koum merasa tidak nyaman dengan banyaknya iklan yang harus diurus dan bertebaran di mana-mana.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.