Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

CEO WhatsApp, dari Tukang Sapu Jadi Miliarder

Kompas.com - 21/02/2014, 09:50 WIB
Oik Yusuf

Penulis

Sumber Forbes,Wired

Koum dan Acton pisah jalan, tetapi masih sering bertemu untuk mendiskusikan rencana bisnis. Keduanya sempat mencoba melamar di Facebook dan sama-sama ditolak.

Jim Goetz/ Sequoia Capital Secarik kertas berisi motto WhatsApp yang ditulis tangan oleh Brian Acton menghiasi ruang kantor Jan Koum

Pada 2009, setelah membeli sebuah iPhone, Koum menyadari bahwa toko aplikasi App Store yang baru berumur tujuh bulan akan melahirkan industri baru yang berisi pengembang-pengembang aplikasi.

Koum mendapat ide untuk membuat aplikasi yang bisa menampilkan update status seseorang di daftar kontak ponsel, misalnya ketika hampir kehabisan baterai atau sedang sibuk.

Nama yang muncul di benak Koum adalah "WhatsApp" karena terdengar mirip dengan kalimat "what's up" yang biasa dipakai untuk menanyakan kabar.

Dia pun mewujudkan ide ini dengan dibantu oleh Alex Fishman, seorang teman asal Rusia yang dekat dengan komunitas Rusia di kota San Jose. Pada 24 Februari 2009, dia mendirikan perusahaan WhatsApp Inc di California.


Tumbuh besar

WhatsApp versi pertama benar-benar dipakai sekadar untuk update status di ponsel. Pemakainya kebanyakan hanya teman-teman Koum dari Rusia. "Lalu, pada suatu ketika, ia berubah fungsi jadi aplikasi pesan instan. Kami mulai memakainya untuk menanyakan kabar masing-masing dan menjawabnya," ucap Fishman, sebagaimana dikutip oleh Forbes.

Koum pun tersadar bahwa dia secara tak sengaja telah menciptakan layanan pengiriman pesan. "Bisa berkirim pesan ke orang di belahan dunia lain secara instan, dengan perangkat yang selalu Anda bawa, adalah hal yang luar biasa," kata Koum.

Ketika itu, satu-satunya layanan messaging gratis lain yang tersedia adalah BlackBerry Messenger. Namun, aplikasi ini hanya bisa digunakan di ponsel BlackBerry. Google G-Talk dan Skype juga ada, tetapi WhatsApp menawarkan keunikan tersendiri di mana mekanisme login dilakukan melalui nomor ponsel pengguna.

Koum merilis WhatsApp versi 2.0 dengan komponen messaging. Jumlah pengguna aktifnya langsung melonjak jadi 250.000 orang. Dia kemudian menemui Acton yang masih menganggur. Acton bargabung dengan WhatsApp dan membantu mencarikan modal dari teman-teman eks-Yahoo.

Kendati sempat mengalami kesulitan keuangan, WhatsApp terus tumbuh dan mulai menghasilkan pendapatan dari biaya langganan yang ditarik dari pengguna.

Kini, WhatsApp telah menjelma jadi layanan pesan instan terbesar dengan jumlah pengguna aktif per bulan mencapai 450 juta. Setiap hari, sebanyak 18 miliar pesan dikirim melalui jaringannya. Semua itu ditangani dengan jumlah karyawan hanya 50 orang.

Warisan Soviet

Pengalaman hidup Koum ternyata punya pengaruh besar dalam membentuk layanan WhatsApp. Pria ini menghabiskan masa kecil di Ukraina yang masih menjadi bagian dari Uni Soviet. Di negeri tersebut, percakapan warga selalu dimata-matai oleh pemerintah. "Itulah tempat yang saya tinggalkan untuk menuju ke sini (AS), di mana ada demokrasi dan kebebasan berbicara," ujar Koum.

Sehubungan dengan kemungkinan penyadapan oleh NSA, Koum mengatakan bahwa privasi pengguna WhatsApp sangat dijaga. Berbeda dengan perusahaan-perusahaan semacam Facebook dan Yahoo, Koum mengatakan bahwa WhatsApp tak didorong oleh iklan. "Jadi, kami tak perlu mengumpulkan data pribadi pengguna," katanya.

Halaman:
Baca tentang
Sumber Forbes,Wired
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com