Soal kebebasan dari iklan ini ternyata juga ada hubungannya dengan masa lalu Koum.
"Tak ada yang lebih personal dari komunikasi yang Anda lakukan dengan teman dan keluarga, dan menginterupsi itu semua dengan iklan bukanlah solusi yang tepat," ujar Koum. "Lagi pula, saya tumbuh di sebuah dunia yang tidak mengenal iklan. Tak ada iklan di Uni Soviet yang komunis," imbuhnya.
Sejak dulu, Koum dan Acton selalu konsisten menjaga layanan perusahaan itu agar tetap sederhana dan berfokus pada pengiriman pesan serta bebas iklan.
Sikap ini tecermin dari secarik kertas di ruang kantor Koum, berisikan semboyan singkat yang ditulis oleh Acton: "Tanpa Iklan! Tanpa Permainan! Tanpa Gimmick!". Di sampingnya tergeletak sepasang walkie-talkie yang dipakai Koum untuk mencari tahu bagaimana caranya menyederhanakan pesan instan berbasis suara.
Kini, WhatsApp telah dibeli Facebook dengan nilai 19 miliar dollar AS (sekitar Rp 223 miliar). Kekayaan Koum yang memiliki 45 persen saham WhatsApp diperkirakan melonjak jadi 6,8 miliar dollar AS.
Kendati demikian, dia tak melupakan masa lalu. Koum menandatangani perjanjian bernilai triliunan rupiah dengan Facebook itu di depan bekas kantor Dinas Sosial North County, Mountain View, tempat dia dulu mengantre kupon makanan bersama-sama warga kurang mampu lainnya.
Baca juga:
Bisa Beli WhatsApp Rp 233 Triliun, Berapa Harta Bos Facebook?