KOMPAS.com - Kamis, 15 Mei 2014, pengembang lokal asal Bandung, Digital Happiness resmi merilis game horor buatannya, DreadOut. Permainan komputer tersebut sudah bisa diunduh melalui platform distribusi digital Steam, pada malam Jumat Kliwon itu.
Dua bulan berselang, bagaimana kiprah penjualan DreadOut? Ternyata cukup menggembirakan. Direktur Proyek DreadOut Rachmad Imron mengaku mencatat penjualan sebanyak 10.000 kopi pada bulan pertama, dengan harga satuan sebesar 14.99 dollar AS.
“Dari situ penghasilan kotornya sekitar Rp 1 miliar,” kata Imron ketika ditemui usai acara Intel Media Gathering di Jakarta, Rabu (16/7/2014). Dia menambahkan bahwa penjualan Dreadout mengalami penurunan pada bulan kedua, namun angka total unduhan masih terus bergerak naik hingga kini hampir mencapai 15.000 kopi.
Walau sekilas terdengar besar, Imron mengaku pihaknya mesti pintar-pintar mengalokasikan dana agar studio Digital Happiness bisa terus hidup dan berkarya. “Kami harus berpikir panjang ke depannya, karena ada biaya pengembangan dan pengerjaan proyek lain.”
DreadOut sendiri merupakan game petualangan dengan genre horor. Tokoh utamanya adalah seorang cewek SMA bernama Linda yang terdampar di sebuah kota tanpa nama bersama teman sekolah dan gurunya. Mereka harus menyelesaikan misteri dan berhadapan dengan para hantu yang bergentayangan di kota tersebut agar bisa keluar hidup-hidup.
Imron berharap DreadOut akan terus bisa memberi pemasukan selama beberapa waktu ke depan, sesuai dengan perkiraan life cycle produk itu. “Kalau dulu dua tiga tahun, sekarang ini mungkin masih bisa satu atau dua tahun,” imbuhnya.
Setan lokal
Tema horor sengaja dipilih oleh Digital Happiness karena dinilai akrab dengan sebagian besar masyarakat Indonesia yang pasti pernah mendengar cerita-cerita seram yang melibatkan “setan lokal” seperti pocong dan kuntilanak.
Kendati mengusung tema lokal, menurut Imron, sebagian besar pembeli DreadOut justru datang dari luar negeri. Angka unduhan terbesar berasal dari Amerika Serikat, disusul Rusia dan Jerman, sementara Indonesia hanya menempati urutan ke enam.
Imron menduga hal ini berkaitan dengan muatan berupa segala macam dedemit ala Indonesia yang masih asing bagi audience luar negeri sehingga menarik. “Mungkin mereka sudah bosan dengan zombie, sementara hantu-hantu kita cenderung supranatural,” katanya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.