Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TechTravel #11: Menjajal Smartphone Huawei Ascend Mate 7

Kompas.com - 21/02/2015, 20:02 WIB
Pepih Nugraha

Penulis

Oleh: Pepih Nugraha

KOMPAS.com - Setelah melorotnya masa kejayaan Nokia sebagai pemain utama bisnis ponsel sampai batas tahun 2010 dan kemudian tergantikan oleh dua raksasa dari dua benua berbeda, yaitu Apple dan Samsung, giliran Huawei ambil bagian.

Setidak-tidaknya untuk urusan smartphone, pabrikan Tiongkok ini rupanya ingin hadir sebagai pesaing baru yang layak diperhitungkan. Huawei Mate7 adalah jawabannya.

Memang rasanya tidak afdol jika perjalanan selama dua pekan ke Tiongkok tidak membawa oleh-oleh cerita dari sebentuk kecanggihan teknologi itu sendiri, setidak-tidaknya dalam bentuk sebuah ponsel pintar itu tadi. Apalah arti sebuah piranti di genggaman tangan dibandingkan kemajuan teknologi informasi secara keseluruhan. Namun, setuju atau tidak smartphone merupakan etalase terdepan dari kemajuan teknologi itu.

Saat berada di ruang pamer Huawei di Shenzhen, pandangan saya terantuk pada sederet produk paling mutakhir ponsel Huawei. Saya melihat di sana ada Huawei P7, Huawei Honor 6, dan Huawei Mate7.

Kata “Ascend” sebenarnya tertera pada produk P7 dan Mate7, namun belakangan Huawei menghilangkan kata itu. Jujur, yang paling menyita perhatian saya saat itu adalah smartphone yang saya sebut terakhir; Huawei Mate7.

Menarik perhatian karena ukurannya yang besar. Boleh dibilang tidak lazim untuk sebuah ponsel. Selintas lebih mirip “phablet mini” daripada sebuah ponsel yang nyaman untuk digenggam. Saya langsung membandingkannya dengan dua ponsel pintar dari Apple dan Samsung yang lahir terlebih dahulu, Apple iPhone6 Plus dan Samsung Galaxy Note 4. Di kelas layar “jumbo” 6 inci ini, saya harus memasukkan ponsel Tiongkok lainnya, Xiaomi Mi Note yang mengusung layar 5,7 inci.

Setelah saya amati dan membandingkannya, rupanya hanya Apple iPhone 6 Plus dan Huawei Mate7 yang benar-benar berlayar 6 inci. Sedangkan Samsung Galaxy Note 4 dan Xiaomi Mi Note “hanya” berukuran 5,7 inci. Saya tidak menemukan jawaban atas angka “7” yang tertera pada Huawei Mate7. Mungkin hanya sebuah nama dan sebagaimana kata Shakespeare, apalah arti sebuah nama.

KOMPAS/Pepih Nugraha Smartphone Android Huawei Mate7 dari tampak depan, dicoba mengakses situs tekno.kompas.com.
Namun, kesan pertama saat saya melihat gadget ini adalah mewah dan futuristik dengan badan yang terbungkus stainless. Kesan sederhana dan minimalis segera terasa saat fitur fisik seperti tombol on/off dan volume berupa tonjolan kecil di sisi kanan gadget teraba oleh jari tangan. Namun, cara on/off atau menghidupkan dan mematikan gadget berupa fitur tonjolan apapun di badan ponsel masih saya anggap sebagai cara tradisional peninggalan masa lalu.

Hal yang paling revolusioner dari gadget ini adalah finger print scanner alias pemindai sidik jari!
Bagi saya, inilah cara Huawei Mate7 tampil beda dibanding ponsel sekelas lainnya yang mengusung layar jumbo 6 inci.

Memasukkan kata kunci berupa angka di permukaan layar iPhone atau membentuk pola di atas sembilan noktah di atas layar Samsung Galaxy Note setelah gadget dalam posisi on adalah cara lawas yang saya sebut “tradisional”.

Huawei Mate7 memperbaiki, kalau tidak mau dibilang mengoreksi cara konvensional ini dengan menyajikan pemindai sidik jari. Personalisasi sangat terasa untuk fitur baru yang satu ini, sebab orang lain yang bukan pemilik tidak mungkin dapat mengoperasikan ponsel ini.

KOMPAS/Pepih Nugraha Pada bgian belakang Huawei Mate7 terdapat pemindai sidik jari yang dimaksudkan untuk keamanan sekaligus personalisasi.
Posisi pemindai sidik jari ini berada di bagian belakang badan ponsel, tepat di bawah kamera belakang yang memiliki 13 megapiksel berupa kotak kecil.

Jari si pemilik yang sudah dipindai terlebih dahulu akan menjadi kata sandi angka atau menggantikan pola tertentu di atas sembilan noktah. Cara ini menjamin ponsel tidak bisa digunakan sama sekali oleh selain pemilknya jika suatu waktu dicuri orang atau hilang.

“Login menggunakan sidik jari dimaksudkan untuk menjamin keamanan pemiliknya,” kata Ellen Angerani Gunawan, Direktur Marketing Huawei Consumer Business yang saya temui di Jakarta, beberapa hari setelah saya mendarat kembali di Jakarta. Ellen menambahkan, lensa kamera depan 5 MP yang dikembangkan sendiri oleh Huawei menjamin pengguna yang hobi selfie terpuaskan dengan resolusi tinggi.

Untuk prosesor, seri “Snapdragon” dari Qualcomm yang umum digunakan di ponsel pintar tidak dicangkokkan di Huawei Mate7 ini. Sebagai gantinya, ia menggunakan mesin baru yang digadang-gadang lebih cepat bernama Hisilicon Kirin 925 dengan RAM 2 GB.

Baterai berkekuatan 4100 mAh yang memungkin tahan selama dua hari secara penuh. Hal yang tidak saya temukan di ponsel lain di kelasnya adalah dual SIM card, nano dan micro, yang slot-nya diletakkan di samping tombol on/off. Sedangkan speaker berada di belakang bagian bawah, agak ke kiri dan jack headphone ada bagian atas.

Mengapa Tiongkok masih tergantung kepada Android milik Google dan tidak berusaha mengembangkan mesin sendiri? Pertanyaan ini saya ajukan kepada Ellen karena Samsung dan hampir seluruh ponsel lain, kecuali Apple iPhone tentunya,  sangat bergantung Android sehingga terkesan tidak ada diferensiasinya kalau Huawei Mate7 juga melakukan hal yang sama.

Jawaban Ellen adalah, “We are following the consumer needs. Android yang paling laku di pasar dan menguasai dunia saat ini. Untuk kebutuhan apapun aplikasinya bisa dicari di Android.”
Saya kemudian mencoba login dengan menggunakan finger print scanner dan dalam beberapa detik layar ponsel bisa diaktifkan karena sudah menyimpan sidik jari saya.

Mengenai baterai yang digadang-gadang sebagai “tahan lama” itu, saya mencoba posisi lowbatt saat tenaganya hanya tersisa 7 persen. Dengan sisa “nafas” hanya 7 persen dan akan terus berkurang, Huawei Mate7 memang tidak bisa digunakan untuk browsing.  Namun demikian, ia masih bisa berfungsi untuk menjawab telepon, berkirim pesan singkat (SMS), bahkan menelepon.

Sebagaimana yang pernah saya ceritakan lewat catatan TechTravel yang lalu, smartphone jenis ini sudah mengalami pengujian bertahap dengan cara “menyiksa” gadget di ruang uji coba ketahanan fisik dan radiasi yang minimalis di markas Huawei di Shenzhen.

Kekurangan dari Huawei Mate7 ini saat dilempar ke pasar Indonesia ada di harga yang masih berkepala “6”. Tetapi untuk sebuah kemewahan, performa mesin yang cepat, dan tampilan yang stylish, memang selalu ada harganya. Jujur, saya sendiri berniat memilikinya.

Besok catatan perjalanan TechTravel saya ke Tiongkok ini akan segera berakhir.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com