Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TechTravel #12: "Endonesia Melah Dalahku, Putih Tulangku"

Kompas.com - 22/02/2015, 11:11 WIB
Pepih Nugraha

Penulis

Oleh: Pepih Nugraha

KOMPAS.com - “Daripada aku memperkenalkan diri, lebih baik aku bernyanyi...,” kata seorang mahasiswi Shanghai International Studies University (SISU) jurusan bahasa dan sastra Indonesia bernama Fu Yi Yun yang memiliki nama Indonesia Cahyana. Tidak lama kemudian terdengar Gebar-gebyar lagi ciptaan Gombloh... “Endonesia melah dalahku, putih tulangku....”

Nyanyian Fu spontan mendapat tepuk tangan belasan rekannya dari jurusan yang sama, khususnya 15 mahasiswa Indonesia yang sedang belajar teknologi informasi di Huawei.

Sebagaimana umumnya orang Tiongkok yang sulit mengucapkan huruf “r” yang berbunyi “l”, keberanian Fu mendapat pujian. Buktinya, nyanyian Fu diikuti yang lainnya sehingga ruang persamuhan itu dihiasi paduan suara dadakan.

Dalam kesempatan perkenalan lainnya, seorang mahasiswa berusia 19 tahun bernama Qiang Hong dengan nama Indonesia Hari Murti mengaku belum memungkinkan dirinya berbicara fasih bahasa Indonesia karena ia baru mempelajarinya selama tiga setengah semester. “Namun saya sangat tertarik dengan Indonesia sehingga saya belajar bahasa Indonesia di sini,” katanya dalam bahasa Indonesia yang sebenarnya lumayan lancar.

Lain lagi alasan mahasiswa Xhang Yi Dan yang bernama Indonesia Adi Ratna belajar bahasa Indonesia. “Saya mau belajar bahasa Indonesia dan saya akan berusaha datang ke Indonesia karena Indonesia tidak sedingin di China,” katanya disambut gelak tawa gabungan mahasiswa Indonesia-China yang seluruhnya berjumlah sekitar 30-an itu.

“Apa kalian punya WeChat? Kalau punya, saya akan follow kalian agar bisa ngobrol lanjut,” kata Xhang lagi. WeChat merupakan aplikasi messenger yang paling popular di China setelah berbagai platform chatting “luar China”, seperti Whatsapp dan Line dilarang online di negeri ini.

Peserta lainnya, Wu Weling, adalah mahasiswa lulusan S2 dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Ia mahasiswa paling senior di antara mahasiswa yang hadir. Ia mengaku selama dua tahun tinggal di Bandung dan bermukim di kawasan Setiabudi, Bandung Utara. Kemampuan bahasa Indonesia Ani, demikian panggilannya dalam Indonesia, cukup dan fasih dibanding mahasiswa yang baru menimba ilmu selama tiga semester di SISU.

Menurut Huang Yue Min Ph.D, Ketua Program Bahasa Indonesia di SISU, ada sekitar 30 mahasiswa yang belajar bahasa Indonesia. Mereka dijaring berdasarkan pengumuman yang ditempel di SMA di sekitar Shanghai atau undangan secara online. Tetapi itu di dilakukan tahun pertama. Tahun-tahun berikutnya, calon mahasiswa sudah banyak tahu dan langsung mendaftar.

“Mereka menaruh minat kepada bahasa Indonesia seiring dengan keterbukaan dari negaranya, juga yang tidak bisa dipungkiri terbuka peluang di berbagai bidang, khususnya perdagangan dan ekonomi,” tutur Huang yang bernama Indonesia Amin Wijaya saat ditemui Kompas di Shanghai, China.

Dengan posisinya sebagai ketua program bahasa Indonesia Huang sangat fasih berbahasa Indonesia. Pilihan kata-kata yang diucapkannya terpilih dan dengan logat yang nyaris sempurna sebagaimana penutur asli bahasa Indonesia. Huang mengaku pernah menimba ilmu di Universitas Maranatha, Bandung, selama setahun sepanjang 2003. Bahasa Indonesia yang digunakannya seperti orang Indonesia berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Huang berada di antara 12 mahasiswa Tiongkok yang belajar bahasa Indonesia di SISU saat silaturahmi dengan 15 mahasiswa Indonesia.

Mengenai meningkatnya mahasiswa China yang mempelajari bahasa Indonesia, Huang berpendapat dengan merujuk kepada masa lalu bahwa hubungan Indonesia-China sangat erat seiring arah pemerintahan Presiden Soekarno yang berpaling ke Rusia dan Tiongkok. Akan tetapi, hubungan ini sempat terputus karena alasan politik juga.

Di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hubungan Indonesia-China semakin erat dan terbuka, lanjut Huang, apalagi di era Presiden Joko Widodo yang jelas-jelas mengajak penguasaha China membangun infrastruktur di Indonesia. “Ini juga salah satu sebab yang mendorong program bahasa Indonesia di China semakin diminati,” kata Huang yang meraih gelar doktor dari Universitas Peking tahun 2007 jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia.

Di SISU sendiri jurusan bahasa Indonesia telah dibuka sejak 2007. Shanghai sebagai kota metropolitan terbesar di China sering dikunjungi pejabat dari Indonesia yang memungkinkan persahabatan Indonesia-China semakin erat. Mahasiswa jurusan bahasa Indonesia di seluruh perguruan tinggi di China berharap bisa bekerja di Indonesia dengan memanfaatkan kemahirannya berbahasa Indonesia. Para lulusannya, kata Huang, punya harapan yang cerah dan peluang yang baik dalam pekerjaan.

Huang menjelaskan mengapa pemerintah China harus terbuka terbuka terhadap dunia luar di mana sebelumnya negara ini dikenal sebagai “Tirai Bambu” karena ketertutupannya. Sebuah kolam yang baik, kata Huang, adalah kolam yang “hidup” dengan air yang mengalir di hulu, kemudian keluar lagi ke hilir. Kolam yang baik memungkinkan ikan hidup sehat dan tumbuh cepat. “Begitulah falsafah China membuka diri terhadap dunia luar, tidak mungkin menjadi kolam yang airnya ‘mati’ dan penuh lumut, yang lama kelamaan airnya akan menjadi surut,” tutur Huang.

Di beberapa tembok bangunan SISU ada beberapa kata mutiara yang ditulis dalam bahasa Indonesia, antara lain “Cahaya matahari selalu muncul setelah hujan deras”.

Huang menambahkan, jurusan bahasa Indonesia terdapat di enam unversitas, termasuk di Beijing, Shanghai dan Guangzhou. Tiga universitas di tiga kota lainnya segera menyusul. Di SISU sendiri, bahasa Indonesia bersanding antara lain dengan jurusan bahasa Turki, Ibrani, Hindi, Korea, Inggris, Arab, Thai, dan Parsi. “Kalau pepatah lama mengatakan ‘Carilah ilmu sempai ke negeri China, moto universitas kami ‘tuntutlah ilmu dari seluruh dunia’,” tekan Huang.

Meski demikian, Huang berpendapat, masih terlalu sedikit lulusan sastra dan bahasa Indonesia di China. Untuk lulusan doktoral saat ini hanya ada tiga orang. Selain Huang sendiri, dua doktor sastra dan bahasa Indonesia ialah Tang Hui dan Qie Li Sha. Huang yang membaca hampir semua karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan Mochtar Lubis mengaku, karena kesibukannya mengajar di China, ia tidak sempat lagi mengunjungi Indonesia. “Padahal saya sudah kangen Indonesia,” ungkapnya.

Demikian saya akhiri catatan perjalanan TechTravel ke negeri Tiongkok bersama Huawei. Saya akan melakukan perjalanan serupa jika ada kesempatan lainnya. (Selesai)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com