Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Kebijakan Pajak untuk Startup

Kompas.com - 02/03/2015, 10:21 WIB
Fatimah Kartini Bohang

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo membentuk Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) akhir Januari 2015 lalu. Dengan harapan, badan ini dapat memelihara dan memajukan ekosistem industri kreatif lokal. Salah satunya startup digital atau perusahaan rintisan berbasis digital.

Startup biasanya berbentuk aplikasi atau situs yang mampu menjawab persoalan tertentu. Misalnya Go-Jek, startup yang memudahkan pememesan ojek atau pengiriman barang dalam kota. Adapula Traveloka, startup yang memudahkan para penggiat perjalanan dalam mencari dan memesan tiket murah lewat internet.

Banyaknya talenta lokal yang mendirikan startup dipandang potensial oleh Kepala Bekraf, Triawan Munaf. Pasalnya, startup dianggap mampu meningkatkan daya saing global. Namun Triawan mengakui pengembangan startup belum maksimal.

"Masih kurang proteksi untuk para pengembang lokal. Investor lokal juga kurang bemain," begitu kata ayah penyanyi Sherina ini beberapa saat yang lalu.

Untuk itu, Triawan bakal mendukung para pengembang aplikasi dan investor lokal yang serius ingin memajukan industri dalam negeri. "Kita rencanakan pemberian insentif bagi para pengembang, juga subsidi bagi pemodal lokal," kata dia. Rencana tersebut juga dimaksudkan agar potensi lokal tak melulu dibeli asing. 

E-commerce Dipajaki, Bagaimana dengan Startup?

Belum jelas mekanisme pemberian insentif bagi pengembang startup, pertengahan Februari lalu pemerintah menyatakan akan segera menerapkan pajak bagi industri e-commerce atau dagang elektronik.

Urusan perpajakan ini akan melibatkan tiga kementerian, yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan Kementerian Keuangan (kemenkeu).

Perumusan ihwal mekanisme pajak e-commerce ini masih terus didiskusikan. Dirjen Aplikasi dan Teknologi Informatika (APTIKA) Kemenkominfo Bambang Heru Tjahjono mengakui pemerintah harus berhati-hati, utamanya dalam mengkaji perpajakan untuk startup yang berbentuk e-commerce.

Musababnya, startup merupakan suatu usaha yang baru tumbuh dan kebanyakan pelakunya adalah anak muda kreatif yang butuh didorong. "Kita harus hati-hati. Baik memberikan insentif maupun memberikan pajak," kata Bambang usai Rapat Dengar Pendapat Komisi 1 bersama Sekjen dan Dirjen Kemenkominfo, dua pekan lalu.

Menurut Bambang, perpajakan untuk startup sebaiknya dilakukan secara bertahap. Untuk permulaan, startup harus didukung dengan insentif. Jika sudah besar, maka perlahan akan dikenakan pajak. "Ada tahapannya nanti. Pokoknya kita lihat dulu mekanismenya harus jelas. Kemudian masalah birokrasi perizinan, itu juga masih harus dibenahi," pungkasnya.

Lain dari pihak Kemenkominfo, lain pula dari sisi Kemenkeu. Menurut Direktor Deputi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti, pada dasarnya semua usaha yang memiliki penghasilan harus kena pajak. Tak terkecuali bagi startup.

"Pada dasarnya pajak itu dari penghasilan. Kalau ada penghasilan dari satu bidang usaha, maka pajak itu dibebankan," kata Nufransa usai mengisi acara di Social Media Week 2015, di Pacific Place, Jakarta, Selasa (24/2/2015) lalu.

Nufransa mengakui bahwa potensi e-commerce di Indonesia sangat besar. Untuk itu, sekiraya pelakunya juga harus menyadari kewajibannya sebagai warga negara, yakni membayar pajak. "Untuk startup, sepanjang masuk skema yang berlaku, ya termasuk," katanya.

Skema yang dimaksud, setiap badan usaha yang memiliki pendapatan di bawah Rp 4,8 miliar per tahun, wajib membayar pajak penghasilan sebesar 1 persen dari penghasilan per bulan. Untuk yang berpenghasilan di atas angka itu per tahunnya, mekanismenya melalui pembukuan yang lebih spesifik.

Nufransa mencontohkan, saat pengembang aplikasi menjual aplikasinya di toko aplikasi, maka tentu dapat dihitung pengeluaran dan selisih pendapatannya. "Labanya harus dilaporkan dan dipajak. selama ini banyak yg belum tahu, tapi kalo ketahuan bisa bahaya," ia menjelaskan.

Sebelumnya, Ditjen Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-62/PJ/2013 (SE-62). Di situ tertera empat jenis e-commerce yang memiliki kewajiban membayar pajak. Pertama, marketplace, yaitu kegiatan menyediakan tempat kegiatan usaha untuk para penjual menjajakan barang atau jasa dagangannya di internet, misalnya Tokopedia, Rakuten, dan BukaLapak.

Kedua, classified ads atau situs untuk menampilkan konten (teks, grafis, video, dan informasi) barang bagi pengiklan untuk memasang iklan yang ditujukan kepada pengguna iklan melalui situs yang disediakan, misalnya Kaskus, Berniaga, dan TokoBagus.

Ketiga adalah daily deals, yaitu wadah daily deals merchant yang menjual barang atau jasa menggunakan kupon sebagai sarana pembayaran, misalnya LivingSocial, Groupon Disdus, dan LaKupon. Keempat, online retail, yaitu situs jual beli barang atau jasa oleh penyelenggara online retail kepada pembeli, misalnya berbagai media sosial, blibli, dan Lazada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com