Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menekan Tombol "Undo" Pelajaran Sejarah

Kompas.com - 07/05/2015, 16:56 WIB
Wicak Hidayat

Penulis

KOMPAS.com - Semoga masih ingat, sewaktu saya bercerita tentang dua bocah yang gemar menonton YouTube, mungkin bisa ditebak akun YouTube (Google) siapa yang mereka gunakan untuk mengakses video-video tersebut? Siapa lagi kalau bukan Bapaknya.

Hal ini jadi sedikit masalah ketika saya hendak mengakses YouTube. Gara-garanya, di situs tersebut ada sebuah algoritma yang akan memberikan rekomendasi video.

Salah satu yang jadi pertimbangan rekomendasi itu agaknya adalah rekam jejak alias sejarah video yang pernah ditonton di YouTube oleh akun tersebut.

Akibatnya, rekomendasi yang muncul setelah akun saya "dibajak" akan banyak menampilkan berbagai "Let's Play" tentang Minecraft. Karena, bagaimana pun, saya tidak menggemari "Let's Play" yang sama, muncullah rekomendasi yang sangat tidak relevan.

Beruntung, YouTube punya fasilitas untuk melihat daftar video yang pernah ditonton (History) dan menghapus isi daftar tersebut.

Aksi bersih-bersih ini kemudian jadi rutin dilakukan setelah weekend. Ya, hitung-hitung sambil memperhatikan juga video apa saja sih yang sudah ditonton mereka.

Jangan-jangan sejarah

Sambil membersihkan sejarah tontonan video di YouTube itu, saya jadi berpikir asal-asalan soal sejarah sebuah bangsa.

Jangan-jangan, apa yang telah dipelajari tentang sejarah bisa berpengaruh pada perangai bangsa itu.

Jangan-jangan, orang Amerika (Serikat) yang kasar, mau menang sendiri, dan arogan itu karena di alam bawah sadar mereka percaya pada sejarah negerinya sebagai negeri koboi?

Jangan-jangan, orang Inggris yang kaku, angkuh dan kebangetan taat pada aturan itu sesuai dengan sejarah sistem monarki yang kuat di negeri itu?

Jangan-jangan -- dan ini yang menyedihkan -- mindernya bangsa Indonesia pada orang kulit putih (dan orang asing lainnya) terkait dengan pelajaran sejarah sebagai bangsa yang dijajah 350 tahun lebih?

Tentunya itu semua adalah stereotipe belaka. Tidak semua orang Amerika berlaku bak koboi. Tidak semua orang Indonesia minder.

Inti pemikirannya adalah: jangan-jangan pelajaran (persepsi) tentang sejarah punya peran besar pada persepsi tentang bangsa itu.

Terpujilah penemu tombol Undo

Di dunia digital, menghapus sejarah adalah sesuatu yang lazim dan seringkali mudah dilakukan.

Alkisah adalah sebuah peranti penyunting teks buatan Xerox, yang bernama Bravo. Konon, sejak 1974, peranti itu menyertakan perintah Undo.

Kombinasi "Ctrl + Z" memungkinkan sebuah kesalahan "dihapus" dan kondisinya kembali ke sebelumnya. Betapa "Ctrl + Z" telah menjadi penyelamat bagi banyak pengguna komputer.

Kemudian, dengan makin getolnya manusia menggunakan internet dan media sosial, History pun menjadi fitur yang penting.

Ini karena postingan lawas di Twitter, Facebook atau jejaring sosial lainnya bisa menjadi rekam jejak negatif bagi citra diri seorang pengguna.

Layanan menghapus jejak dan sejarah online pun banyak tersedia. Juga fitur-fitur dengan tujuan serupa disediakan di berbagai layanan media sosial. Seperti yang telah disediakan oleh YouTube tadi.

"Undo" pelajaran sejarah

Saya termasuk di antara generasi yang pelajaran sejarahnya menyebut bahwa Indonesia mengalami penjajahan selama 350 tahun. Bahkan, yang teringat adalah, Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun.

Padahal, belakangan saya tahu, faktanya tidak sesederhana itu. Bahkan, kolonialisme Hindia Belanda baru terjadi pada 1800, disusul gagasan akan "Bangsa Indonesia" pada 1900-an.

Seandainya bisa, saya ingin sekali rasanya menekan tombol Undo untuk mengubah efek pelajaran sejarah yang terlalu sederhana itu.

Saya kok curiga bahwa pelajaran sejarah itu telah melahirkan perangai yang minder. Perasaan yang menghantui bahwa, kok bisa-bisanya bangsa ini dijajah ratusan tahun lamanya?

Soal meluruskan sejarah, saya serahkan pada sejarawan. Silakan telusuri lebih rinci apa faktanya.

Seandainya bisa, ingin sekali pelajaran sejarah itu kemudian diganti dengan sebuah narasi yang baru.

Usulan saya, narasi itu adalah: bahwa bangsa ini lahir dari gagasan besar tentang keberagaman.

Dari pondasi keberagaman itu kemudian kita bisa membangun persepsi diri yang lebih baik. Tak perlu lagi minder menghadapi yang asing, karena sejak dulu kita adalah bangsa yang mencintai perbedaan.

Mungkin, dengan perubahan narasi itu, kita bisa melahirkan bangsa yang tak hanya mementingkan dirinya sendiri, golongannya sendiri, partainya sendiri dan seterusnya.

Terlalu muluk? Kalau tidak suka, boleh di-Undo kok!


Tulisan ini adalah bagian dari seri kolom bertajuk Kolase. Biasanya, Kolase terbit setiap Senin, tapi minggu ini agak terlambat karena satu dan lain hal. Andai saja 'sejarah' soal keterlambatan itu bisa dihapus.

Tulisan ini menampilkan opini pribadi dari Editor KompasTekno, Wicak Hidayat. Opininya tidak menggambarkan opini perusahaan. Penulis bisa dihubungi lewat blog wicakhidayat.wordpress.com atau twitter @wicakhidayat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com