Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siapa Mau Hidup Seperti Binatang?

Kompas.com - 12/05/2015, 19:20 WIB
Wicak Hidayat

Penulis

KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu -- yang artinya sudah lewat beberapa hari namun belum terlalu lama juga -- awak redaksi Kompas.com diseret ke alam liar lewat sebuah perjalanan bertajuk "outbond".

Pernah dengar dong makhluk yang namanya outbond ini? Hampir semua perusahaan saya kira punya kebiasaan mencemplungkan karyawannya ke kegiatan semacam ini. Dengan reaksi yang beragam dari para peserta, tentu saja.

Nah, saat menjalankan kegiatan yang satu ini, dibentuklah tim-tim untuk melakukan kegiatan outbond. Tim yang tak lebih dari selusin orang anggotanya. Setiap individu lalu diminta memilih sendiri nama julukan, yang harus merupakan nama binatang dengan huruf awal sama dengan nama panggilannya.

Maka untuk beberapa saat, "manusia" itu berubah menjadi "binatang". Panggilan yang biasanya hanya muncul saat marah (atau ketika bercanda, bagi yang sudah sangat akrab) menjadi sapaan biasa.

Iya, yang saya maksud adalah panggilan seperti: Anjing, Monyet, Sapi, dan seterusnya. Singkat kata: isi kebun binatang lah!

Untuk beberapa saat pula, muncul di kepala imaji-imaji dari masa kanak-kanak. Ketika manusia berkostum binatang berperan di sebuah panggung dengan tata lampu seadanya. Yah, boleh dibilang gambaran dongeng ala Sanggar Cerita lah.

Bersamaan dengan gambaran dongeng binatang ala Sanggar Cerita muncul sebuah pertanyaan yang lebih ekstrim: siapkah kita untuk hidup seperti binatang?

Menuju alam liar

Tersirat dalam kebinatangan nama itu adalah panggilan untuk mendekatkan diri pada alam liar. Selama beberapa waktu kami -- para peserta outbond -- diharapkan untuk menanggalkan kenyamanan urban dan menjadi liar.

Ya, tentunya bukan liar seliar-liarnya, tetapi meninggalkan sejenak kenyamanan sehari-hari seperti ponsel, koneksi internet, dan kasur nyaman untuk tidur di malam hari.

Setidaknya, begitu salah satu semangat dari kegiatan outbound yang bisa dilakukan di sebuah perusahaan. Meski praktiknya tentu tak akan 100 persen terwujud.

Dari sudut pandang rutinitas, kegiatan semacam ini sesekali perlu dilakukan. Berapa banyak dari kita yang setiap hari harus memaksakan diri bangun dan berangkat kerja, untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tak kita nikmati?

Beberapa banyak dari kita yang setiap hari hanya setor muka dan, maaf, cium pantat di kantor?

Lalu, saat pulang, berapa banyak dari kita yang lebih asyik dengan gadget masing-masing saat bertemu keluarga di rumah?

Di alam liar, manusia yang sudah dibinatangkan tadi dipaksa untuk saling mengandalkan. Seorang teman dalam perjalanan itu mengatakan: "Karakter seseorang muncul saat naik gunung seperti ini."

Karakter? Ya, mungkin saja. Insting bertahan hidup manusia, yang sudah diasah oleh jutaan tahun evolusi, membuat manusia dalam kelompok saling mengandalkan.

Mungkin itu yang dimaksud dengan karakter?

Kejamnya alam vs kejamnya manusia

Alam memang kejam. Senantiasa alam seakan-akan bersekongkol untuk membunuh manusia. Tak percaya? Simak kisah nyata Christopher Mccandless dalam Into The Wild.

Namun itu bukan berarti manusia tidak bisa selaras dengan alam. Hal itu akan terjadi saat manusia memahami bahwa dirinya bagian dari alam. Bumi memberi, bumi juga yang mengambil. Kira-kira begitulah prinsipnya.

Tetapi kekejaman alam, kadang tak sekejam manusia sendiri. Ini kerap terjadi di dunia digital, terutama saat berinteraksi di media sosial.

Di balik topeng "tanpa nama" manusia kerap menjadi kejam dan buas. Mampu melontarkan ejekan, ledekan, hinaan, dan cacian semudah menyentuh layar smartphone-nya yang kinclong itu.

Pada kondisi yang tepat -- kenyang dan puas -- mungkin penerima serbuan itu bisa mengambil nafas dan mengenyahkan perasaan tidak enak. Namun dalam kondisi lain, serbuan "di dunia maya" itu sungguh bisa terasa nyata.

Siapa bilang serangan di dunia maya itu tidak nyata? Jika yang diserang adalah manusia sungguhan dan hati yang luka adalah perasaan sungguhan, serangan itu menjadi sama nyata dengan serangan fisik.

Komedian Jimmy Kimmel, yang cukup ternama di Amerika Serikat, punya cara jitu untuk membantu mengatasi kekejaman ini. Ia menghadirkan tokoh terkenal untuk membaca tweet keji tentang diri mereka.

Tak tanggung-tanggung, di antara tokoh yang pernah muncul dalam segmen bertajuk "Mean Tweets" itu adalah Presiden AS Barack Obama.

Apa yang dilakukan Kimmel bisa membantu kita dengan melihat bahwa tokoh terkenal pun mau membaca tweet yang paling kejam. Kita bisa menemukan kesamaan pada reaksi mereka saat membaca tweet keji itu.

Selain itu, apa yang muncul juga menunjukkan betapa bodohnya ucapan keji seseorang di media sosial. Tak hanya menertawakan para tokoh, kita juga dibuat bercermin: jangan-jangan kita pernah membuat tweet sekejam itu.

Entah lebih efektif, tapi yang pasti lebih menghibur dibandingkan menjebloskan seseorang di penjara hanya gara-gara tulisan di media sosial kan?


Tulisan ini adalah bagian dari seri kolom bertajuk Kolase. Ini kali kedua Kolase, yang harusnya terbit siap Senin, muncul terlambat. Harap maklum, "binatang" kadang lupa jadwalnya manusia. 

Tulisan ini menampilkan opini pribadi dari Editor KompasTekno, Wicak Hidayat. Opininya tidak menggambarkan opini perusahaan. Penulis bisa dihubungi lewat blogwicakhidayat.wordpress.com atau twitter @wicakhidayat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com