Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asosiasi Soroti 5 Poin dalam RPP E-commerce

Kompas.com - 02/07/2015, 11:08 WIB
Fatimah Kartini Bohang

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pertengahan Juni 2015, Kementerian Perdagangan (Kemendag) melakukan uji publik terhadap Rancangan Peraturan Pemerintahan (RPP) yang mengatur transaksi jual-beli online (e-commerce). Ada sekitar 70 pasal yang sudah dirumuskan dalam draf RPP.

Namun, draf itu masih bersifat tertutup untuk publik karena dianggap belum lengkap. "Nanti rencananya akan berkembang sampai 80-an pasal," kata anggota bagian Kebijakan Publik Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA), Sari Kacaribu, dalam acara jumpa pers terkait RPP e-commerce, Rabu (7/1/2015) di Hotel Ambhara, Blok M, Jakarta Selatan.

Saat ini, yang mengetahui isi draf RPP e-commerce hanya Kemendag dan pelaku industri yang diundang pada uji publik, 17 Juni lalu. Dari draf yang dirumuskan, ada lima poin utama yang disorot idEA. Berikut penjabarannya.

Pertama, batasan tanggung jawab pelaku usaha yang terlibat dalam transaksi e-commerce belum jelas.

Wakil Kepala Bagian Kebijakan Publik idEA, Budi Gandasoebrata mengatakan, ada satu pasal dalam draf yang menyebut bahwa setiap pelaku usaha bertanggungjawab atas pengiriman barang ke konsumen.

Menurut dia, regulasi itu tak bisa dipukul rata untuk semua bentuk e-commerce. Sebab, ada beragam model bisnis perdagangan elektronik.

"Jika bentuknya ritel yang memiliki stok barang sendiri, hal tersebut menjadi masuk akal. Tapi kalau bentuknya marketplace seperti OLX, Tokopedia, Bukalapak dan Blanja, ini tidak masuk akal karena mereka hanya sebagai platform. Bukan penyedia barang," ia menjelaskan.

Ke depan, model bisnis e-commerce diprediksi akan terus berkembang seiring perkembangan zaman dan kemunculan inovasi baru. Jika pemerintah menyiapkan regulasi, kata idEA, sepatutnya memperhatikan ragam bisnis yang ada. "Tiap model bisnis butuh regulasi yang berbeda-beda," kata Budi.

Kedua, kesenjangan penegakan aturan antara industri lokal dan asing.

Beberapa pasal yang tercantum dalam draf RPP dianggap mempersulit ruang gerak industri dagang online lokal. Di antaranya terkait syarat usaha dan perizinan berlapis.

Asosiasi mengkhawatirkan hal ini akan mendiskreditkan e-commerce lokal dan justru memajukan e-commerce asing. Pasalnya, regulasi ruwet pada draf RPP dianggap sulit diterapkan pada e-commerce asing.

Di sisi lain, ranah internet yang tanpa batas membebaskan e-commerce asing berekspansi ke seluruh wilayah, termasuk Indonesia. Praktis para penjual akan memilih langkah yang lebih sederhana dengan berjualan lewat platform e-commerce luar atau media sosial.

"Nanti mereka balik lagi jualan di Facebook, Instagram, BBM, yang fungsinya sebenarnya bukan untuk transaksi jual-beli online," kata Budi. Dengan ini, persaingan industri lokal dan asing menjadi tak seimbang.

Ketiga, kewajiban untuk memiliki, mencantumkan dan menyampaikan identitas subjek hukum.

Menurut asosiasi, salah satu keruwetan dalam draf RPP adalah pencantuman KYC atau Knowing Your Customer untuk berjualan. Yakni identitas-identitas seperti KTP, Izin Usaha dan Nomor SK Pengesahan Badan Hukum.

Dalam pasal, kata asosiasi, Kemendag belum detil menjabarkan siapa saja pihak yang harus memenuhi syarat KYC. Yang jelas, Kemendag berdalih aturan itu bertujuan menjamin perlindungan konsumen.

Padahal, kata asosiasi, ada cara-cara sederhana untuk menjamin keamanan transaksi online. Misalnya lewat pendataan nomor ponsel dan rekening bank. Selama ini, hal itu juga sudah dilakukan beberapa pelaku e-commerce.

Sebab, sebelum registrasi nomor ponsel, setiap orang dimintai KYC dengan menyertakan nomor KTP/SIM dan data lainnya. Pun yang terjadi pada data rekening. KYC sudah terakomodir di dalamnya.

"Kalau ada cara yang lebih mudah, kenapa harus ruwet?" Sari mempertanyakan.

Keempat, perizinan yang berlapis.

Asosiasi menjelaskan, selama ini e-commerce juga berada di bawah naungan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) dengan posisi sebagai penyelenggara sistem elektronik. Untuk itu, regulasi perizinan e-commerce sedikit banyak berasal dari Kemenkominfo. Utamanya pada sistem elektroniknya.

Sementara itu, di draf RPP yang dikeluarkan Kemendag, perizinan juga dibahas dalam 3 poin. Menurut idEA, hal ini menyebabkan kebingungan bagi industri yang baru sekitar lima tahun terakhir ini tumbuh signifikan.

"Kami lihat kok banyak sekali obligasi-obligasi untuk verifikasi perizinan khusus. Perlu diketahui, e-commerce di sini sudah berbadan hukum. Jadi kalau kami harus melakukan sertifikasi lagi, tampaknya ada empat sampai enam syarat yang harus dipenuhi," Sari menuturkan.

Ujung-ujungnya, implikasinya akan berhubungan dengan mandegnya pertumbuhan e-commerce lokal.

Kelima, beberapa bagian RPP bertentangan dengan aturan hukum lain.

Dari kajian singkatnya, idEA menemukan beberapa pertentangan hukum antara draf RPP dengan peraturan yang sudah berlaku selama ini. Kerancuan pertama bersinggungan dengan hukum pengangkutan yang menganut asas tanggung jawab bersama.

"Setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab mengganti rugi atas segala kerugian yang timbul akibat kesalahan itu. Pihak yang dirugikan harus membuktikan kesalahan pengangkut," begitu bunyinya.

Namun, pada matriks RPP e-commerce, tanggung jawab tersebut langsung dilimpahkan pada penyelenggara sistem elektronik.

Selanjutnya, berdasarkan UU perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa transaksi online bisa ditempuh melalui beberapa cara. Bisa melalui perdata di pengadilan, perdata di luar pengadilan, pidana, atau penyelesaian administratif.

Tetapi, pada matriks RPP, penyelesaian sengketa dilakukan lewat online yang sebelumnya tak dikenal oleh UU. "Kami melihat kok beberapa aturan RPP bergesekan ya dengan aturan lainnya," kata Sari yang juga menjabat Head of Legal situs belanja Lazada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com