Perusahaan-perusahaan yang disebutkan ini tidak terlibat langsung. Namun, hal itu dilakukan oleh penyuplai bahan baku pembuatan produk mereka.
Amnesty International bersama organisasi non-pemerintah, Afrewatch, menemukan masalah pekerja anak ini saat menyelidiki industri pertambangan kobalt di Republik Demokratik Kongo. Bahkan, ada pekerja anak yang berusia 7 tahun dan hanya dibayar sekitar 2 dollar per hari.
Negara Afrika ini memang merupakan sumber utama kobalt dan menyumbang hampir setengah pasokan kobalt di seluruh dunia.
Sebagaimana dilansir KompasTekno dari Techcrunch, Rabu (20/1/2016), kedua organisasi fokus menyelidiki Congo Dongfang Mining (CDM) serta Huayou Cobalt, yang merupakan anak usaha perusahaan tambang dari China dan Korea.
Perusahaan tersebut membeli kobalt dari pedagang yang beroperasi di wilayah rawan pekerja anak. Selanjutnya, kobalt dijual ke perusahaan pembuat komponen baterai yang menggunakannya untuk membuat baterai pesanan perusahaan teknologi dan otomotif.
Amnesty International menemukan ada 16 perusahaan multinasional yang terdaftar sebagai pelanggan Huayou Cobalt. Mereka telah mengontak tiap-tiap perusahaan dan mendapatkan jawaban berbeda-beda.
Samsung SDI misalnya, divisi yang berurusan dengan pembuatan baterai mengaku tidak pernah berhubungan dengan Huayou Cobalt atau DRM. Mereka juga mengaku selalu melakukan evaluasi tertulis dan tinjauan langsung mengenai berbagai masalah hak asasi manusia hingga kesehatan dan keselamatan pekerjanya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.