Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Derita Pekerja Anak di Tambang Bahan Baku Smartphone

Kompas.com - 20/01/2016, 20:09 WIB
Fatimah Kartini Bohang

Penulis

KOMPAS.com - Lebih dari 40.000 anak di Republik Demokratis Kongo harus memikul berkilo-kilo hasil tambang kobalt setiap hari. Pekerjaan itu dilakukan 12 jam penuh untuk upah maksimal 2 dollar AS  atau setara Rp 27.000.

Salah satu dari mereka adalah yatim 14 tahun bernama Paul. Sudah dua tahun ia bekerja di tambang kobalt. Sejak itu, ia rutin sakit karena beban kerja yang tak manusiawi.

"Saya bisa bekerja 24 jam penuh. Datang pagi dan pulang keesekon paginya. Ibu angkat saya ingin saya sekolah. Tapi ayah angkat saya memaksa saya bekerja di tambang," kata dia, sebagaimana tertera pada situs resmi lembaga pegiat hak asasi Amnesty USA, dan dihimpun KompasTekno, Rabu (20/1/2016).

Eksploitasi anak menjadi lumrah di Kongo. Utamanya di industri-industri pertambangan kobalt. Negara di Afrika Tengah tersebut memang dikenal sebagai produsen kobalt terbesar di dunia. 

Kobalt untuk baterai smartphone

Kobalt digunakan sebagai bahan baku baterai lithium pada smartphone yang kita gunakan sehari-hari. Beberapa vendor kawakan seperti Apple, Samsung, dan Microsoft, terindikasi menggunakan baterai lithium dari kobalt hasil ekspoitasi anak-anak di Kongo.

Hal tersebut diungkap Amnesty International dan tim peneliti Afrewatch. Mereka mewawancarai 87 penambang dari lima industri tambang kobalt di Konga.

Mereka juga mewawancarai 18 pedagang kobalt yang mengambil sumber daya dari lima tambang tersebut. Salah satu yang terbesar adalah Huayou Cobalt.

Huayou menyuplai kobalt ke tiga perusahaan komponen baterai lithium. Masing-masing adalah Ningbo Shanshan dan Tianjin Bamo dari China, serta L&F Materials dari Korea Selatan.

Pada 2013 lalu, ketiga perusahaan tersebut membeli lebih dari 90 juta dollar AS atau setara Rp 1,2 triliun kobalt dari Huayou.

Ketimpangan kesejahteraan

Lalu, bagaimana dengan vendor-vendor smartphone yang menikmati proses akhir dari kobalt? keuntungan mereka masing-masing mencapai puluhan miliar dollar AS per tahun.

Jauh dari upah maksimal 2 dollar yang diterima anak-anak di Kongo. Setahun saja, mereka paling banter meraup 712 dollar AS atau setara Rp 9,9 juta.

Ketimpangan antara kesejahteraan anak-anak di Konga dengan vendor-vendor smartphone itu memicu Amnesty International mengkritisi proses yang terjadi selama ini. 

"Industri tambang adalah tempat kerja terburuk bagi anak-anak, mengingat bahaya kesehatan dan keamanan yang ditimbulkan," kata tim peneliti dari Amnesty International Mark Dummet.

"Perusahaan-perusahaan dengan keuntungan total 125 triliun dollar AS tak bisa mengklaim mereka tak mampu mengecek dari mana komponen-komponen produk mereka berasal," ia menambahkan.

Setidaknya ada 16 perusahaan teknologi yang dimaksud Dummet, yakni Ahong, Apple, BYD, Daimler, Dell, HP, Huawei, Inventec, Lenovo, LG, Microsoft, Samsung, Sony, Vodafone, Volkswagen dan ZTE.

Melalui jalur diplomasi, Amnesty International dan Afrewatch meminta pemerintah menetapkan regulasi yang mengikat. Mulai dari jejeran industri tambang, penyuplai, hingga pabrikan smartphone.

"Tanpa hukum yang mengharuskan perusahaan mengecek dari mana sumber komponen, mereka akan terus mengambil keuntungan dari penindasan hak asasi manusia. Pemerintah harus bertindak," kata Dummet.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com