Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

WhatsApp dan Facebook Gratis? Tidak Juga

Kompas.com - 21/01/2016, 13:34 WIB
Deliusno

Penulis

KOMPAS.com – Sebuah kabar mengejutkan datang dari perusahaan penyedia layanan pesan WhatsApp. Pada 18 Januari 2016 lalu, anak perusahaan Facebook ini mengumumkan bakal mencabut biaya pemakaian sebesar 1 dollar AS per tahun.

Itu artinya, Anda bisa menggunakan aplikasi WhatsApp secara cuma-cuma seumur hidup. Selama ini, penggunaan WhatsApp memang hanya gratis selama satu tahun penggunaan awal. Setelahnya, pengguna bakal ditarik iuran sebesar 1 dollar AS atau sekitar Rp 12.000 per tahun.

Pihak WhatsApp pun tampak sangat serius dengan pernyataan tersebut. Tidak lama berselang, tepatnya pada 20 Januari 2016 atau dua hari sesudahnya, kebijakan tersebut sudah mulai berlaku.

Dengan ini, pengguna internet, terutama smartphone, semakin dimanjakan. Sebelum kebijakan WhatsApp ini, sebenarnya sudah banyak aplikasi atau layanan yang sudah tersedia secara gratis.

Sebagai contoh, Anda mungkin tidak sadar bahwa telah menggunakan layanan jejaring sosial Facebook dan Twitter secara gratis. Anda tinggal mengikuti proses pendaftaran, kemudian bisa langsung berbagi status, foto, bahkan video dengan ratusan juta pengguna lain.

Pengguna internet pun boleh menggunakan layanan yang sangat penting, seperti mesin pencari Google secara gratis. Menggunakan produk tersebut, Anda seakan bisa menjadi seorang pustakawan, bisa menemukan informasi apapun dari “perpustakaan” terbesar di dunia.

Akan tetapi, pernahkah menyadari, di balik semua layanan gratis tersebut, sebenarnya ada sebuah harga yang harus dibayarkan. Yah, secara harfiah Anda tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Bayaran dari layanan yang sudah digunakan oleh ratusan juta manusia di seluruh permukaan bumi ini bisa saja jauh lebih berharga dari sekadar uang.

Data pribadi dimiliki pihak lain

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, layanan jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter tidak memungut biaya sedikit pun dari pengguna jasanya. Sebagai gantinya, diharuskan mengisi beberapa data, yang terkadang bersifat personal.

Facebook Layar Sign Up Facebook

Sebenarnya, proses pendaftaran kedua layanan jejaring sosial terbesar itu dibuat sesederhana mungkin. Calon pengguna tidak perlu mengisi berbagai data yang terlalu rumit.

Sebagai contoh, Facebook hanya meminta data nama, e-mail atau nomor telepon, dan tanggal lahir. Situs mikroblogging Twitter bahkan hanya meminta data nama lengkap dan e-mail atau nomor telepon calon penggunanya.

Meski terdengar sangat sederhana, kedua layanan itu sebenarnya sudah mendapatkan secuil data penting dari penggunanya.

Kini, Facebook dan Twitter setidaknya sudah mengetahui ada seseorang dengan nama Deliusno, misalnya, lengkap dengan alamat e-mail, bahkan nomor teleponnya.

Sesudah berhasil membuat akun, Facebook dan Twitter biasanya akan menghadapkan pengguna dengan sebuah form pengisian data pribadi. Pengguna memang dibebaskan untuk tidak melengkapi form tersebut. Akan tetapi, jika tidak dilakukan, kedua perusahaan tersebut “mengancam”, pengguna akan sulit ditemukan oleh pengguna lain.

Sebenarnya, tanpa diminta pun banyak pengguna yang tanpa pikir panjang menyerahkan secara sukarela data pribadinya. Hal tersebut dilakukan atas nama eksistensi di dunia maya.

Berkali-kali Facebook dan Twitter dengan tegas menyatakan, tidak akan menjual data penting penggunanya kepada orang lain. Namun, pada kenyataannya, kedua perusahaan ini sebenarnya membagikan data penting Anda kepada pihak ketiga.

Kami mentransfer informasi kepada penjual, penyedia layanan, dan mitra lain yang secara global mendukung bisnis kami, misalnya menyediakan layanan infrastruktur teknis, menganalisis bagaimana Layanan kami digunakan, mengukur efektivitas iklan dan layanan, menyediakan layanan pelanggan, mempermudah pembayaran, atau melaksanakan penelitian dan survei akademis,” tulis Facebook dalam laman Privacy.

Berdasarkan pernyataan tersebut, diketahui bahwa Facebook memang bersedia menyerahkan data pengguna untuk berbagai macam kebutuhan, seperti iklan dan melaksanakan penelitian. Dengan kata lain, data penting Anda tidak hanya dimiliki oleh Facebook saja, tetapi juga pihak lain.

Untungnya, Facebook juga mempunyai aturan tegas seputar pembagian informasi ini.

Para mitra ini harus mematuhi tanggung jawab kerahasiaan dengan cara yang konsisten dengan Kebijakan Data ini dan persetujuan yang kami masukkan di dalamnya,” tutur Facebook.

Untuk saat ini, data pribadi Anda memang masih aman. Facebook memiliki aturan ketat yang melarang para mitranya untuk kembali membagikan informasi pribadi ke pihak lainnya lagi. Mitra pun tidak boleh menyalahgunakan informasi tersebut.

Namun, tanpa bermaksud paranoid, bagaimana jika para mitra tersebut sedikit nakal? Mereka sudah mengetahui nama, nomor telepon, dan, mungkin, alamat pengguna Facebook. Mitra tersebut tentunya bisa saja membombardir Anda dengan berbagai iklan, bahkan lebih.

Harga yang harus Anda bayarkan tentu saja tidak berupa uang. Tetapi kenyamanan hidup bakal terganggu. Tidak jarang, pengguna harus mengganti nomor telepon atau alamat e-mail agar gangguan tersebut tidak datang.

Tidak hanya sekadar marketing

Jumlah pasti dari pengguna Google belum diketahui. Akan tetapi, sebagai gambaran, angkanya bisa mencapai ratusan juta.

Hal tersebut diketahui dari jumlah pengguna Android saat ini. Saat mengaktifkan sebuah perangkat, pengguna memang diminta untuk memasukkan atau membuat sebuah akun Google secara gratis. Yah, mungkin saja tidak semua pengguna melakukan permintaan tersebut, tetapi tetap saja jumlahnya sangat banyak.

Seorang teman pernah menceritakan kekhawatirannya terhadap layanan Google. Layanannya yang gratis dan banyak yang bermanfaat, mengundang banyak orang untuk menggunakannya.

Akan tetapi, semua aplikasi tersebut meminta timbal balik yang terkadang lebih berharga dari uang, yakni data pribadi. "Bisa saja Google menguasai dunia dengan semua data yang dimilikinya," kata sang teman sambil bercanda.

Sebagai contoh, untuk menggunakan layanan Gmail, pengguna harus mendaftar terlebih dahulu. Itu artinya, harus mengisi berbagai data yang tak jarang sensitif.

Contoh lainnya, saat melakukan pencarian di mesin pencari Google, aktivitas pengguna pun akan direkam. Tujuannya, untuk memahami minat dari pengguna.

Mashable Google Maps untuk iOS bakal ngomong kalau macet

Tidak hanya data, Google pun bisa saja merekam tingkah laku penggunanya. Misalnya, layanan peta digital Google Map mampu memprediksi di mana lokasi rumah hingga tempat bekerja.

Algoritma aplikasi bisa mencatat di mana Anda menghabiskan waktu di malam hari. Jika dilakukan secara rutin, sistem bisa langsung menyimpulkan, di sanalah tempat tinggal pengguna. Ia pun bisa mencatat pola perjalanan rutin dengan tepat.

Di sinilah letak harga yang harus dibayarkan oleh Anda. Sama seperti Facebook, Google memiliki kebijakan yang bisa membagikan data kepada pengiklan.

Namun, letak permasalahannya tidak hanya sekadar gangguan dari dunia marketing saja. Tingkah pola laku kita pun tercatat di aplikasi tersebut.

Bayangkan, jika suatu saat, data tersebut bocor di dunia maya. Seseorang bisa mengetahui data nama, alamat, nomor telepon, hingga pola hidup sehari-hari.

Tentunya harga tersebut terlalu mahal dibandingkan dengan penggunaan layanan secara gratis.

Data bocor, kerugian datang

Secara teknis, sulit untuk membobol sistem keamanan milik Facebook, Google, dan Twitter. Ada ratusan, bahkan ribuan, programmer dan engineer yang siap mengamankan data pribadi milik Anda.

Namun, bagaimana jika suatu saat tiba-tiba muncul seorang hacker super cerdas yang mampu membobol server milik kedua perusahaan tersebut? Data Anda bisa saja diambil dan dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Harga yang diambil tentunya tidaklah murah.

http://blog.compactbyte.com/ Bug di aplikasi GoJek

Ada contoh konkrit dari masalah ini, yaitu aplikasi Gojek di Indonesia. Pengguna memang harus membayar untuk menggunakan jasa transportasi tersebut, tetapi aplikasi tersebut tersedia secara gratis.

Untuk menggunakan layanan tersebut, pengguna diharuskan untuk mengisi berbagai data pribadi penting, seperti nama, alamat, dan juga jenis kelamin.

Parahnya, aplikasi milik Gojek ini memiliki celah. Seseorang, dengan teknik yang relatif mudah, bisa mengetahui data pribadi pengguna. Bahkan, bisa diketahui tujuan atau destinasi dari si pengguna.

Menurut pengamat teknologi sekaligus Direktur Eksekutif ICT Watch, Donny Budi Utoyo, kebocoran data pada aplikasi Go-Jek sudah gawat dan tidak bisa ditoleransi lagi.

Pasalnya, menurut pria yang akrab disapa Donny BU itu, bukan hanya data pribadi pengguna yang bocor, melainkan juga perilaku atau behaviour mereka.

"Kalau Go-Jek masalahnya bukan hanya data pribadi, seperti nama, alamat, dan nomor telepon, melainkan juga siapa ke mana, lewat mana, dan beli apa," kata Donny melalui telepon kepada KompasTekno.

Bayangkan jika kebocoran itu terjadi di situs-situs gratis seperti Facebook, Twitter, atau Google. Berapa harga yang harus Anda bayarkan sebagai ganti data penting tersebut? Tentu saja tidak ternilai.

Bisa diminta pemerintah

Untuk keperluan penyelidikan terhadap sebuah kasus, pemerintah bisa saja meminta data pribadi pengguna layanan tersebut. Menurut pengamatan KompasTekno dari berbagai situs-situs penyimpanan data atau jejaring sosial, mereka bisa saja menyerahkan data penting tersebut ke pemerintah.

Sebagai contoh, Google punya peraturan tertulis yang mengizinkan mereka untuk berbagi data pengguna dengan pemerintah, dengan beberapa syarat tertentu.

“Kami akan membagikan informasi pribadi dengan perusahaan, organisasi, dan individu di luar Google jika kami berkeyakinan dengan itikad baik bahwa akses, penggunaan, penyimpanan, atau pengungkapan informasi tersebut perlu untuk memenuhi hukum, peraturan, dan proses hukum yang berlaku atau permintaan pemerintah yang wajib dipenuhi,” tulis Google.

Tentu saja pemerintah tidak akan secara sembarangan atau semena-mena menggunakan peraturan ini. Pemerintah tidak mungkin secara asal-asalan meminta data seseorang.

Namun, hal ini seperti ingin mengindikasikan bahwa pemerintah sebenarnya bisa mengawasi pengguna lewat layanan gratis yang menjamur di mana saja.

Tidak perlu panik

Sekali lagi, tulisan ini dibuat tidak untuk membuat Anda menjadi paranoid terhadap layanan gratis yang mengharuskan untuk “menyerahkan” data pribadi penggunanya. Berbagi data sah-sah saja untuk dilakukan.

Toh, perusahaan-perusahaan tersebut sudah menuliskan dalam peraturan Privacy masing-masing untuk melindungi dan tidak menyerahkan data pribadi penggunanya.

“Kami menjaga agar informasi pribadi Anda tetap pribadi dan terjamin - dan memberikan kontrol kepada Anda,” kata Google.

Namun, yang perlu digarisbawahi, layanan gratis tersebut tidak sepenuhnya gratis. Karena data Anda masih memiliki kemungkinan untuk bocor hingga dimiliki oleh berbagai pihak lain. Ada harga yang tetap harus dibayarkan, salah satunya adalah data Anda.

Untuk meminimalisir kemungkinan kebocoran data, ada sebuah cara sederhana yang bisa dilakukan, yakni berbagi data seminimal mungkin di dunia maya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com