Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerja Tanpa "Ngantor", Efektifkah?

Kompas.com - 13/02/2016, 05:27 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

KOMPAS.com – Sekarang pukul delapan pagi. Dani baru saja memperbaiki posisi duduk dan menaruh alat kerjanya—laptop dan modem—di sisi kanan badannya saat televisi menyiarkan berita banjir Ibukota. Dalam berita itu, seorang news anchor memberi tahu detail lokasi yang aksesnya tergenang air.

Tayangan berlanjut. Tampil gambar para pengendara motor berjejalan di jalan yang tak terendam air lantaran macet. Tak terbantahkan, sebagian besar dari mereka sedang berkejaran dengan waktu menuju kantor masing-masing.

Ingatan Dani pun sontak kembali ke satu penggalan masa pada 2014. Waktu itu, dia masih menjadi salah satu di antara orang-orang yang tak berdaya terjebak di tengah kemacetan karena jalanan tergenang air.

Sekonyong-konyong, Dani pun ingat, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) kala itu, Sofjan Wanandi, menyebut kerugian selama sepekan karena jalanan Jakarta kebanjiran mencapai ratusan miliar rupiah. (Baca: Akibat Banjir Rugi Ratusan Miliar Rupiah)

Jarak jauh

Klik! Dani menekan tombol off televisi, kemudian menyalakan laptop dan modem, dan mulai bekerja. Fheww... Dia mengembuskan napas. Untunglah, kini dia seorang teleworker atau pekerja jarak jauh.

Caranya bekerja sekarang memang dikenal sebagai telework atau telecommuting. Pada satu ketika, cara itu disebut-sebut akan menjadi sistem kerja masa depan.

Di negara-negara maju, telework sudah jamak diberlakukan. Bahkan, cara kerja itu menjadi bagian kebijakan pemerintah kota sebagai salah satu jalan keluar mengatasi kemacetan.

Shutterstock Ilustrasi

Berdasarkan survei yang dilakukan Ipsos, lembaga riset pasar di berbagai negara pada 2013, pekerja yang sudah mengaplikasikan telecommuting di Timur Tengah dan Afrika mencapai kisaran 27 persen, Amerika Latin 25 persen, Asia Pasifik 24 persen, dan Eropa 9 persen. Di Indonesia, tercatat juga 34 persen pekerja adalah telecommuter.

Pada dasarnya, telework merujuk pada cara seseorang bekerja dari luar kantor, baik di rumah atau tempat lain. Dengan demikian, seorang teleworker tak perlu pulang-pergi kantor setiap hari. Bahkan dari kedai kopi, pekerja ini bisa menyelesaikan pekerjaannya.

Beth Braccio Hering, penulis lepas yang mengisi laman situs web flexjobs mengemukakan bahwa sistem kerja telework bukanlah hal baru. Jack Nilles, peneliti dari University of Southern California, sebut Hering, adalah orang yang pertama kali memperkenalkan sistem tersebut.

Semua bermula pada era 1970-an, ketika terjadi krisis minyak sehingga harga bahan bakar naik tinggi. Telework menjadi tawaran solusi dari Nilles agar para pekerja tak perlu terlalu banyak mengeluarkan ongkos untuk bekerja.

Cocok atau enggak?

Belakangan, artikel yang diunggah The Guardian (10/3/2014) memberikan sudut pandang lain. Mulai 2014, kebijakan telework yang pernah digadang menjadi cara kerja efektif itu justru mulai ditinggalkan beberapa perusahaan di Amerika Serikat yang pernah menerapkannya.

Yahoo, Best Buy, dan Hewlett-Packard (HP), adalah tiga di antara perusahaan yang “mencabut” kebijakan telework. Alasan mereka, penyelesaian pekerjaan butuh kolaborasi dan inovasi yang digarap bersama oleh para karyawan di kantor. Untuk kebutuhan itu, telework tak selalu efektif.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com