Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak Muda Tinggalkan Facebook dan Twitter, Kenapa?

Kompas.com - 15/02/2016, 20:08 WIB
Fatimah Kartini Bohang

Penulis

Sumber Quartz
KOMPAS.com - Sebelas juta remaja angkat kaki dari Facebook pada 2011 silam. Sejak itu Facebook makin didominasi kalangan dewasa hingga tua, yakni mereka yang berumur 30 tahun ke atas.

Sementara anak muda - 18 hingga 29 tahun - punya Instagram sebagai rumah baru. Mereka bisa berbagi konten visual tanpa embel-embel teks panjang lebar. Tak banyak ruang membahas kisruh politik, berkampanye, atau menuangkan pikiran-pikiran serius nan ruwet.

Instagram seakan lebih merestui penggunanya memamerkan foto atau video perjalanan, hobi, dan keseharian lainnya yang lekat dengan kreativitas dan jiwa muda.

Tapi lagi-lagi ada yang mengusik "kemudaan" Instagram. Belakangan platform tersebut mulai disesaki iklan. Kalangan orang tua pun pelan-pelan turut mengeksiskan diri.

Meski demikian, toh Instagram tak serta-merta ditinggalkan (untuk tak menyebut pelan-pelan ditinggalkan). Masih banyak anak muda yang betah menjajalnya. Tak jarang pula yang kemudian mengembangkan bisnis dengan menggunakan strategi pemasaran via Instagram.

Alarm tanda bahaya lebih tepat ditujukan pada Twitter. Secara umum, platform tersebut memang menunjukkan penurunan penetrasi.

Indonesia yang basis pengguna Twitter-nya terhitung melimpah pun terkena dampak. Dalam dua tahun terakhir pengguna Twitter di Indonesia menurun 10 persen hingga tinggal sepertiga dari total pengguna internet.

Anak muda lebih memilih Snapchat

Menurut analisis Profesor Felicity Duncan dari Cabrini College, AS, anak muda cenderung aktif di media sosial yang mengedepankan penyebaran konten secara intim - Facebook Messenger atau Snapchat -, ketimbang penyebaran konten secara massal - Facebook dan Twitter -.

Hal itu pertama kali ia sadari saat menganalisis kebiasaan mahasiswa didikannya. Ketika menunggu kelas, kata Duncan, para mahasiswa menjajal smartphone bukan untuk mengecek Facebook, Twitter, atau Instagram.

"Mereka melihat berita terbaru dari sahabat-sahabat mereka lewat Snapchat Stories, chatting di Messenger, atau mengecek group chatting di layanan lainnya," ia menuliskan di Quartz, sebagaimana dihimpun KompasTekno, Senin (15/2/2016).

Jika para mahasiswa punya waktu lebih senggang, ia melanjutkan, barulah mereka mengecek Instagram untuk tahu postingan terbaru dari brand-brand yang mereka ikuti.

Intinya, secara garis besar, kebutuhan media sosial bagi remaja telah bergeser. Opsi mereka lebih ke intimasi, bukan penyiaran massal.

Menurut laporan Pew Research pada Agustus 2015, 49 persen pengguna smartphone berusia 18 hingga 29 tahun aktif menggunakan aplikasi chatting seperti WhatsApp, iMessage, Messenger, atau Line.

Sementara itu, 41 persen remaja menggunakan aplikasi yang memiliki kemampuan menghapus konten otomatis, seperti Snapchat. Hanya 22 persen yang menggunakan LinkedIn dan 32 persen menggunakan Instagram.

Halaman:
Sumber Quartz
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com