Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak Muda Tinggalkan Facebook dan Twitter, Kenapa?

Kompas.com - 15/02/2016, 20:08 WIB
Fatimah Kartini Bohang

Penulis

Sumber Quartz

Sebenarnya, presentasi paling banyak masih diraup Facebook. Sebanyak 82 persen remaja mengaku memiliki Facebook. Tapi, "memiliki" tak berbanding lurus dengan "aktif menggunakan".

Dari 82 persen, 70 persen mengatakan tak menjajal Facebook lewat aplikasi mobile. Pengecekan aplikasi itu dilakukan sesekali via laptop, jika benar-benar sedang ingin.

Kenapa kebutuhan media sosial anak muda bergeser?

Berdasarkan diskusi dan pengamatan Duncan terhadap 80 mahasiswa AS, ada tiga alasan utama mereka meninggalkan Facebook dan Twitter. Pertama, platform tersebut dianggap bernuansa tua. Menurut Pew Research, 48 persen pengguna internet berusia di atas 65 tahun menggunakan Facebook.

Akibatnya, anak muda merasa canggung ketika orang tua, bibi, paman, atau bahkan nenek mereka meminta berteman di Facebook. Ada perasaan tak bebas berekspresi, malu, dan kikuk.

Kedua, konten di Facebook dan Twitter akan tetap ada dalam waktu lama, bahkan bisa abadi. Ingatkah bagaimana memalukannya postingan Anda lima tahun atau tujuh tahun lalu?

Ada foto-foto yang dulunya Anda anggap keren, lalu sekarang Anda berbalik mengutuk foto-foto itu. Sayangnya, terlalu banyak foto yang telah di-tag ke akun Anda, pun foto-foto yang pernah secara sadar Anda bagi. Perlu waktu untuk menghapusnya satu-satu atau menyembunyikannya.

Sementara di Snapchat, anak muda sengaja membagi hal-hal konyol untuk jadi bahan guyonan. Toh dalam 24 jam konten itu akan hilang otomatis.

Ketiga, perusahaan cenderung mengecek media sosial sebelum menerima lamaran kerja seseorang. Atas dasar itulah para remaja tak menghapus akun Facebook dan Twitter mereka.

Lebih tepatnya, media sosial tersebut hanya dijadikan topeng pencitraan: tak perlu sering-sering diperbarui dan hanya digunakan membagi hal-hal yang sifatnya tak personal.

"Mereka sangat hati-hati mengkurasi konten pada profil publik Facebook atau LinkedIn," kata Duncan.

Ekspresi yang sesungguhnya tak ditunjukkan lagi lewat Facebook dan Twitter. Hakikat media sosial yang sebenarnya disalurkan anak muda lewat Snapchat atau layanan-layanan sejenis.

Fenomena pergeseran ini punya implikasi beragam. Paling signifikan bagi pengiklan dan orang tua.

Pengiklan yang berencana menyasar anak muda, tentu harus memiliki strategi khusus untuk menjangkau mereka. Jika tumpuan harapan dialamatkan pada Facebook atau Twitter, strategi itu harus buru-buru dibenahi.

Bagi orang tua yang ingin mengontrol aktivitas maya anaknya, juga tak bisa lagi mengandalkan Facebook. Sebab platform itu hanya "tameng" bukan "isi" diri anak sesungguhnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Sumber Quartz
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com