Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Blokir dan Kedunguan Tata Kelola Internet yang Dipelihara

Kompas.com - 19/02/2016, 08:00 WIB
Damar Juniarto

Penulis

Bermula dari Pondasi Multi-Stakeholder

Estonia terus terang membuat mata saya terbuka bahwa apabila internet dikelola dengan baik, pelbagai kepentingan mulai dari urusan teknologi, ekonomi, pertahanan dan kedaulatan bangsa, moral, hukum, kemerdekaan ekspresi, dan demokrasi bisa tumbuh bersama dan menjadi negara yang kuat dan bukan justru menjadikan internet momok bersama yang ditakuti oleh suatu bangsa.

Mengenai kebijakan blokir dan penapisan, misalnya. Estonia juga mempunyai aturan pembatasan mengenai konten internet. Pada bulan Januari 2010, Estonia menerapkan kebijakan mengenai judi online dengan aturan bahwa permainan judi online harus memeroleh izin khusus atau akan diblokir.

Pada bulan Februari 2014, Lembaga Pajak dan Bea Cukai Estonia menemukan lebih dari 1.000 situs judi online yang tidak memiliki izin dan harus diblok. Pemblokiran situs ini dilakukan secara transparan dan akuntabel. Estonia juga melarang hate speech sesuai dengan aturan yang berlaku di negara Uni Eropa.

Tentu saja hal ini menimbulkan pertanyaan besar di kepala saya: bagaimana Estonia mengaturnya?

Ternyata semua bermula dari tahun 2009 lewat berdirinya Estonian Internet Foundation (EIF) yang mengelola top level domain .ee untuk Estonia. Dengan prinsip multi-stakeholder, EIF ini sukses mengelola tata kelola internet dalam urusan pendaftaran nama domain, mulai dari kebijakan harga pendaftaran yang tadinya dikenai biaya 20 Euro per tahun menjadi hanya 9 Euro per tahun, hingga persoalan pengelolaan konten.

Penerapan prinsip multi-stakeholder ini juga dipakai dalam menyusun kebijakan penghapusan konten, misalnya. Menghapus konten tertentu bukan hal mudah di Estonia karena Estonia mengakui hukum privasi.

Perlu diketahui bahwa di Estonia setiap keputusan menghapus konten yang melenceng atau komentar online yang melecehkan harus lebih dulu melibatkan pengadilan. Umumnya pengguna diinformasikan mengenai kebijakan privasi dan aturan dalam berkomentar online yang harus mereka patuhi.

Beberapa jasa online memiliki kebijakan yang menjelaskan tanggung jawab dan menjunjung etika serta kebijakan paksa bila ada yang melanggar.

Kasus situs online Delfi di tahun 2008 dapat dijadikan rujukan bagaimana seharusnya kasus defamasi bisa dihindari, dimana ditunjukkan bahwa sebagai intermediary, situs online Delfi sudah aktif menghapus komentar-komentar online yang melecehkan.

Namun karena kemampuannya terbatas tidak semua bisa dihapus dari situs dan itu menjadi alasan mengapa Mahkamah Agung Estonia membatalkan putusan pengadilan tinggi sebelumnya yang menyatakan Delfi harus ikut bertanggungjawab atas komentar defamasi yang dilakukan seorang pembacanya.

Singkatnya, prinsip multi-stakeholder itu ingin mengatakan bahwa beres tidaknya pengelolaan internet harus melibatkan banyak pihak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com