Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
kolom

"Free", Menggali Rezeki Substitusi di Era Ekspansi Digital

Kompas.com - 23/02/2016, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Paradigma “Free”

Jawaban Iwan Tompo inilah yang kemudian menautkan saya atas jawaban Jubing tadi; hasil rekaman, apapun bentuknya, tidak menghasilkan finansial berlebih, salah-salah kena serbu album bajakan.

Namun di balik itu semua, ada semacam “rezeki substitusi” atas jerih payah itu. Bayangkan, Jubing pernah mengaku, untuk menyelesaikan satu komposisi saja diperlukan waktu berbulan-bulan, belum lagi proses rekamannya yang berulang-ulang memakan waktu dan tenaga.

Wandy Gotama, produser sekaligus pemilik studio rekaman IMC Record yang memproduksi album Jubing selama ini menyadari “senjakala” CD sudah tiba dengan ditutupnya ratusan gerai Disc Tara.

Wandy sempat menyarankan agar cukup jualan versi digital saja. Tapi setelah Jubing bikin survei kecil-kecilan, ternyata cukup banyak yang ingin memiliki album bentuk CD. Alasannya bisa dipegang, bisa dilihat-lihat, dipajang, dipamerkan, dikadokan, dijadikan suvenir, dan bisa dibubuhi tanda tangan.

Bahkan ketika album digital “Pagi Putih” sudah tersedia, akunya, mereka tidak mau mengunduh dan tetap menunggu CD-nya. “Jadi keputusan akhirnya tetap bikin CD,” simpul Jubing.

Digital memang bengis dan tak “menghargai” jerih-payah musisi atau seniman macam Jubing dan Iwan Tompo. Piringan hitam dan gramophone tergerus kaset, kaset terseret CD, CD terbanting MP3, MP3 terganjal digital online.

Sekarang, apa yang tidak dijual di Netflix dan Amazon? Dari rekaman suara sampai aksi aktor film ada di sini. Tetapi, itu bukan berarti harus menyerah pada “kebengisan” digital.

Selalu ada “substitusi” atau pengganti yang dalam kasus tertentu seperti Jubing, Iwan Tompo dan mungkin Radiohead di Amerika sana, bayaran aksi panggungnya lebih dari cukup dari suara atau permainan musik mereka yang digratiskan. Perolehan “subsitusi” memang kecil, tetapi harus tetap dicari, digali dan diakali.

Apa-apa yang digratiskan alias “Free” ini mengingatkan pada buku yang pernah saya beberapa tahun silam, Free: The Future of a Radical Price karangan Chris Anderson.

Beruntung saat saya bertugas ke London, Inggris, saya sempat bertemu dengan penulis berkepala licin ini di mana saat itu dia masih bercerita mengenai buku sebelumnya, yaitu The Long Tail: Why the Future of Business is Selling Less of More. Buku yang inipun sudah saya baca sebelumnya.

Mungkin Iwan Tompo atau Jubing belum sempat membaca dan mempelajari isi kedua buku itu. Tetapi blessing in disguise, apa yang mereka lakukan adalah contoh nyata dari tesis Anderson dalam Free.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com