Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
REGULASI

Apakah Kita Cuma Menonton Orang Asing Berbisnis "Online"?

Kompas.com - 23/03/2016, 16:27 WIB
M Latief

Penulis

KOMPAS.com - Pemerintah tidak bisa jalan sendiri menyelesaikan polemik "transportasi online vs transportasi konvensional" yang belakangan makin runcing dan mengalami puncaknya, Selasa (22/3/2016). Rusuh dan kisruh.

Dorongan bisnis aplikasi yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia ke Indonesia memaksa pemerintah untuk menyiapkan regulasi terkait, yang tentunya diharapkan bisa tetap mengadopsi perkembangan teknologi namun tetap dapat memberikan keberpihakan kepada bangsa sendiri.

Hal paling menarik dijadikan kasus memang polemik ojek atau taksi online yang bergulir di Indonesia sejak setahun belakangan. Aplikasi dari luar seperti Uber, Grab, atau buatan lokal, Go-Jek, telah digunakan dan membaur di kehidupan masyarakat sehari-hari. Pemilik bisnis dan penggunanya merasa sama-sama telah "nyaman" dengan terbentuknya ekosistem baru tersebut.

Sayangnya, tak ada kepastian regulasi yang jelas dan updated mengiringi kebutuhan atau tuntutan itu. Pembiaran atas hal tersebut bahkan terbukti memberikan ketidakpastian di tengah masyarakat.

"Tapi, permasalahan ini tidak bisa diselesaikan oleh satu kementerian atau lembaga tertentu, tapi harus lintas kementerian atau lembaga termasuk juga mengajak asosiasi industri terkait untuk urun rembug. Kementerian di bawah Jokowi tidak akan bisa menuntaskannya secara sektoral, tapi harus holistik dan dilakukan secara kontinyu, bukan reaktif," ujar Ketua Komite Penyelarasan Teknologi Informasi dan Komunikasi (KPTIK) Dedi Yudiant, Rabu (23/3/2016).

Khusus pada kasus transportasi online ini, menurut Dedi, yang terjadi adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) diminta oleh pemain asing untuk membukakan pintu investasi agar bisa beroperasi di Indonesia. Dalam hal ini, Uber dan Grab, diberikan izin sebaga portal web sesuai dengan KBLI atau Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia yang ada di Badan Pusat Statistik (BPS).

BPS secara reguler melakukan pembaruan atas KBLI. Data terakhir yang dikeluarkan BPS adalah tahun 2015. Sebelumnya, data yang digunakan itu adalah versi 2009 lalu, sementara KBLI ini diambil dari kode ISIC versi tahun 2008.

"Seyogianya, pembaruan KBLI, khususnya bidang aplikasi dilakukan secara berkala, kalau perlu setiap enam bulan atau paling lambat per tahun. Dengan begitu bisa disesuaikan dengan kondisi industri atau bisnis yang berkembang. Tim ini perlu bekerja secara full time, karena sangat strategis bagi kepentingan bangsa dan negara. Setelah itu kita perlu lakukan antisipasi implikasi di industri terkaitnya melalui K/L yang sesuai," kata Dedi.

Dedi melanjutkan, pada saat ada investor asing akan masuk dengan membawa solusi aplikasi yang disruptive, maka tim lintas kementerian itu harus bisa segera memetakan kode KBLI mana yang paling sesuai dengan dampak di seluruh bidang atau sektor kehidupan di Indonesia. Tim tersebut sudah harus tahu instansi yang akan terkait dan dampaknya terhadap masyarakat.

"Selamanya memang regulasi itu tidak bisa mengikuti kecepatan perkembangan teknologi. Tapi, adanya tim lintas kementerian atau lembaga plus perwakilan industri yang dedicated, akan memperkecil potensi kerugian, dan memperbesar potensi keuntungan bangsa, pemerintah dan masyarakat," ujar Dedi.

Dedi menambahkan bahwa saat ini dibutuhkan ketegasan yang clear atas posisi pemerintah terhadap aturan online transportation. Apapun itu, rekomendasi yang ditawarkan kepada pemerintah adalah kebijakan yang bisa memberikan keberpihakan ke masyarakat, namun tetap bisa memfasilitasi kemajuan teknologi, karena dampak dari perkembangan teknologi memang tidak dapat dihindari.

"Perlu adaptasi yang sifatnya gradual atas teknologi yang berkembang sehingga penerimaannya bisa smooth di masyarakat. Tapi, balik lagi, semua harus bertahap dengan konsep kerja cepat tapi tetap tidak bisa dilakukan secara mendadak," ujar Dedi.

KOMPAS.com / RODERICK ADRIAN MOZES Pengemudi ojek online memprovokasi para sopir taksi yamgmelakukan aksi demonstrasi di Jakarta, Selasa (22/3/2016). Para ojek online ini kesal akibat salah satu temannya disweeping dan dipukuli. KOMPAS.com / RODERICK ADRIAN MOZES
Menonton asing

Berdasarkan KPTIK, sebenarnya pemerintah lintas kementerian/lembaga dan industri punya waktu setidaknya 6 bulan sebelum isu ini meledak dan jadi "chaos". Artinya, butuh tim dedicated dan kerja cepat membahas tren teknologi untuk menyiapkan regulasi. Lambatnya merespon kondisi ini menjadikan pemerintah dan industri terdesak memberikan relugasi yang mendadak dan tidak akurat serta bersifat reaktif.

"Menurut pengamatan kami, suatu teknologi membutuhkan paling tidak 6 bulan sampai 3 tahun sebelum menjadi tren lokal dan booming. Rentang waktu ini yang perlu diisi secara efisien," kata Dedi.

Menurut dia, keputusan Menteri Perhubungan Ignatius Jonan mengenai pengujian kendaraan bermotor (KIR) yang diberlakukan untuk plat hitam pada transportasi online bisa dijadikan salah satu solusi. Hanya, hal itu butuh tenggang waktu yang cukup realistis untuk mengurusnya.

Di sisi lain, layanan izin KIR harus dipercepat dan dibuatkan sistem online. Cara ini, Dedi menilai, bisa mempercepat proses perizinan secara signifikan. Selain perizinan harus dibuat mudah serta relatif tidak mahal.

"Usul Pak Jonan mengakuisisi proses perizinan KIR ke perhubungan adalah hal menarik agar bisa dipercepat dan dipermudah sehingga resistansi masyarakat pelaku online transportation akan berkurang secara signifikan. Namun, memang, suka atau tidak suka, akhirnya aturan yang sudah diputuskan harus ditegakkan," ujar Dedi.

Sementara itu, nantinya tim lintas kementerian/lembaga dan industri akan memberikan rekomendasi regulasi secara berkala kepada pimpinan, baik diminta maupun tidak. Selain itu, tim tersebut harus selalu update dengan tren teknologi yang terjadi di seluruh dunia, dan menganalisis dampaknya pada masyarakat Indonesia.

Dedi berpesan, pemerintah benar-benar harus cepat tanggap atas masifnya kemunculan bisnis model baru yang berkembang di masyarakat, terutama yang didorong oleh teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Karena selain transportasi online, masih banyak lagi aplikasi akan masuk ke Indonesia dengan kapitalisasi lebih besar.

"Kan kita sudah bisa lihat berdatangannya bisnis aplikasi yang disruptive, misalnya, Airbnb untuk online reservation untuk akomodasi, Amazon untuk toko online atau e-commerce, dan lain-lainnya yang investasinya dari pihak asing. Semua ini akan mendobrak model bisnis konvensional yang sudah mapan, dan juga berkontribusi atas munculnya ekosistem baru yang perlu diantisipasi dan difasilitasi, bukan dimusuhi," ujar Dedi.

"Ini kita belum bicara soal isu 100 persen kepemilikan asing yang investasinya masuk di atas Rp 100 miliar. Ini kan perlu dipelajari hal-hal yang akan membantu atau malah membuat portal e-commerce pun nantinya dikuasai asing. Lha, kita nonton asing semua nanti," kata Dedi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com