Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Amir Sodikin
Managing Editor Kompas.com

Wartawan, menyukai isu-isu tradisionalisme sekaligus perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Bergabung dengan harian Kompas sejak 2002, kemudian ditugaskan di Kompas.com sejak 2016. Menyelesaikan S1 sebagai sarjana sains dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM), dan S2 master ilmu komunikasi dari Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina. 

kolom

Spotify, Menguji Bisnis “Freemium” di Indonesia

Kompas.com - 31/03/2016, 09:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

JAKARTA, KOMPAS.com - Gending Jineman Uler Kambang mengalun tentram. Gending Jawa itu dibawakan oleh Karawitan Tunggul Raras Irama, yang dicuplik dari album "Palaran Gobyok, Volume 1". Serasa, kita dibawa (pulang) ke Jawa, mengingatkan lagu klangenan Mbah Buyut.

Satu gending habis, tiba-tiba muncul iklan lagu-lagu Barat, yang menawarkan kita untuk setia menunggui Spotify. Ya, gending-gending Jawa itu mengalun bukan dari medium kaset atau keping DVD, melainkan dari Spotify, sebuah platform layanan aliran musik global yang baru saja masuk di Indonesia.

Saat orang berfikir bahwa lagu-lagu pinggiran milik generasi tua sudah tamat, Spotify masih mengkurasinya.  Dengan memasukkan kata kunci “karawitan”, tersua banyak lagu-lagu khas Jawa, berkompetisi dengan lagu-lagu etnik bernuansa meditasi dari seluruh pelosok dunia.

Lagu-lagu itu bisa dinikmati gratis dari pelantar Spotify. Di platform lain,  misalnya iTunes, kita harus merogoh kocek 4,99 dollar AS untuk, misalnya, satu album "Palaran Gobyok" tadi.

Dengan Spotify, dengan mudah dan dengan gratis, dan yang penting legal, kita bisa menemukan lagu-lagu yang bahkan di luar dugaan kita ternyata masih dikurasi oleh Spotify.

Dari lagu-lagu rohani, nasyid, hingga musik pengantar meditasi. Sudah tentu lagu-lagu arus utama pasti ada di Spotify.

Ketikkan saja misalnya “Walang Kekek” atau “Waldjinah”, maka kita masuk ke lagu-lagu keroncong  milik Waldjinah.  Sudah bisa ditebak, kita juga bisa menjumpai sang legenda dan maestro keroncong “Bengawan Solo”, Gesang.

Hanya dengan beberapa ketukan, kita pun bisa menikmati tangga lagu “Global Top 50”, 50 lagu yang sedang hits di seantero jagad. Saat ini, lagu Work milik Rihanna dan Drake sedang menguasai tangga papan atas. Dengan sekali ketuk, kita pun bisa menikmati suara khas Rihanna dan Drake.

Ya, berkat layanan layanan aliran musik gratis, Rihanna dan Waldjinah bisa dinikmati di satu genggaman dan dalam satu platform.  Gratis dan legal.

Ini sebenarnya bukan hal baru. Barang lama, namun ketika dikemas oleh perusahaan global, berbondong-bondong generasi muda mencoba dan menikmatinya. Terlebih lagi, Spotify "tak membuang" lagu-lagu "pinggiran" yang selama ini tak dianggap oleh industri musik.

Model bisnis freemium
Spotify merupakan perusahaan asal Swedia yang mulai membangun bisnisnya sejak 2006. Sejak Juni 2015, Spotify memiliki lebih dari 75 juta pengguna aktif, 20 juta di antaranya merupakan pengguna premium atau berbayar.

spotifyartists.com Grafik jumlah pelanggan Spotify berbayar dan gratis.

Maret 2026 ini, jumlah pengguna premium mencapai 30 juta. Data ini berdasarkan tweet Pendiri dan CEO Spotify Daniel Ek pada 21 Maret 2016 lalu.

Walau perjalanan Spotify termasuk “penuh perjuangan”, namun kini Spotify telah tumbuh menjadi bisnis mapan yang mendunia. Spotify telah menggedor dunia bisnis musik dengan model bisnis baru di ranah musik yaitu freemium.

Freemium artinya, model bisnis yang menawarkan layanan dasar secara gratis kepada konsumen. Tetapi, jika konsumen ingin mendapatkan lebih, maka konsumen harus membayarnya.

Enam tahun berada di industri pengaliran musik, Spotify telah mengubah cara dunia dalam menghidupi musik di era digital. Pro dan kontra selalu ada dan Spotify bukanlah satu-satunya pemain di bisnis aliran audio ini.

Namun, pilihan “freemium selamanya” akhir-akhir ini menjadikan Spotify unik. Kritik pedas pun duluncurkan tak hanya dari pesaing tapi juga artis atau label yang tak setuju dengan model bisnis tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com