Tabrakan antara pesawat Boeing 737-800 Batik Air dengan ATR42-600 Transnusa di bandara Halim Perdanakusuma Jakarta bagi pemerhati penerbangan tidaklah mengejutkan. Pasalnya, selama ini, karakteristik dan operasional bandara Halim menyimpan sebuah potensi bahaya.
Di kalangan pelaku industri penerbangan (pilot, petugas operasional penerbangan, mekanik, dan sebagainya) yang sehari-harinya beraktivitas di bandara Halim Perdanakusuma, mereka sebenarnya telah menyadari bahwa ada potensi hazard yang tinggal menunggu terjadi.
Potensi itu semakin tinggi kemungkinannya saat pergerakan pesawat semakin banyak.
Pada April 2014 lalu, saat Citilink mulai beroperasi di Halim, pergerakan pesawat hanya 32 penerbangan setiap hari, kini setelah Batik Air beroperasi di bandara tersebut, pergerakan pesawat menjadi sekitar 60 penerbangan setiap hari.
Belum lagi ditambah dengan pergerakan pesawat latih, militer, helikopter, VIP, atau VVIP di bandara tersebut. Hampir mencapai kapasitas pergerakan maksimalnya yang 74 penerbangan setiap hari.
Seperti diberitakan, Senin (4/4/2016), ujung sayap B737 Batik Air menabrak vertical stabilizer (sayap tegak) ATR42-600 Transnusa saat sedang takeoff run. Pesawat ATR42-600 Transnusa saat itu sedang ditarik towing truck melintasi runway.
Insiden tersebut sekaligus membuka mata kita, bahwa dengan semakin meningkatnya pergerakan di suatu bandara, dibutuhkan juga perbaikan atau peningkatan sarana pendukungnya.
Potensi bahaya tersembunyi
Operasional di Halim Perdanakusuma berbeda dengan operasional di bandara lain di Indonesia pada umumnya, yang hanya memiliki satu apron (tempat parkir pesawat).
Halim Perdanakusuma memiliki apron di sisi utara dan selatan yang dipisahkan oleh runway (24 - 06) yang berlokasi di tengah-tengah.
Selain itu, selama ini operasional pergerakan pesawat di darat di bandara Halim berbeda dari standar di bandara pada umumnya. Di bandara-bandara besar lain terdapat frekuensi radio khusus untuk mengatur pergerakan pesawat, atau biasa disebut Ground Frequency.
Nah, di bandara Halim ini, ATC Ground dan Tower digabung menjadi satu (118,6 MHz), namun tugasnya tidak sepenuhnya menangani operasional darat dan udara.
Tugas Tower yang merangkap Ground itu hanya mengontrol lalu-lintas penerbangan yang hendak terbang (pergerakan dari parkir, berjalan di taxiway hingga takeoff) dan setelah mendarat (keluar dari taxiway dan taxi menuju apron).