Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wicak Hidayat

Penulis teknologi yang saat ini terjun bebas ke dunia startup digital. Ia aktif di Code Margonda bersama komunitas lainnya di Depok. Juga berperan sebagai Tukang Jamu di sebuah usaha rintisan bernama Lab Kinetic.

kolom

Startup Masuk Desa, Startup Rindu Desa

Kompas.com - 19/04/2016, 11:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorReza Wahyudi

Kisah Singgih sudah banyak diceritakan, jadi rasanya tak perlu diceritakan lagi di sini. Satu hal yang menarik buat saya adalah pandangannya akan masa depan. Singgih yakin seyakin-yakinnya bahwa desa adalah masa depan.

Menurut Singgih, masa depan akan menghadirkan masyarakat yang tidak terpusat namun saling terhubung (decentralized networked society). Bayangannya seperti desa yang setiap penduduknya senantiasa terhubung ke internet. Untuk apa? Apalagi kalau bukan akses informasi.

Di desa masa depan itu, nilai-nilai yang dianggap lawas di perkotaan masa kini akan kembali dijunjung tinggi. Nilai kebersamaan, gotong-royong dan spritualisme bakal menjadi sesuatu yang dianggap baik. Kontras dengan nilai-nilai semau gue, acuh-tak acuh dan materialisme yang jadi norma di kota.

Tapi begini, konon masa depan itu adalah apa yang kita lakukan saat ini. Maksudnya, masa depan itu dibuat dan bukan ditunggu. Artinya, jangan cuma duduk diam dan terima nasib, mulailah menyusun masa depanmu sendiri. Bangun woy, bangun!

Singgih agaknya percaya itu, karena ia terbukti telah membangun desanya sendiri, dan dengan itu membangun masa depan yang ia inginkan. Ia melakukan itu di sebuah desa bernama Kandangan, di wilayah Temanggung, sekitar dua jam perjalanan dari Jogja. Ia menjadikan Kandangan, yang memang kampung halamannya, pusat dari kegiatan produksi Magno dan Spedagi.

Tapi jangan bayangkan pabrik-pabrik besar berdinding kelabu, dengan asap hitam membumbung dari cerobong-cerobong tinggi. Produksi dilakukan dengan tangan, memberdayakan warga desa dan menjaga kelestarian lingkungan. Satu tahun, kata Singgih, gunakan satu pohon saja untuk produksi dan harus tanam lebih banyak dari yang digunakan.

Namun Singgih memahami, masalah di desa masih banyak. Dalam perbincangan dan pemaparannya, ia menyiratkan satu masalah yang sedang dihadapi di banyak tempat. Desa kehilangan manusianya, orang-orang pindah ke kota dan meninggalkan desa.

Saat manusia berubah menjadi manusia kota, ada yang benar-benar berubah. Bukan hanya soal cara pandang dan kebiasaan, namun secara struktur otak memang ada perubahan. Sebuah penelitian di jurnal Nature menunjukkan adanya perubahan biologis pada otak manusia kota dan manusia desa. Manusia kota, menurut studi itu, memiliki bentuk otak yang membuatnya lebih mudah stress, yang pada gilirannya ini bisa meningkatkan risiko schizoprenia. Kalau melihat hal itu, pertanyaan yang harus dipertimbangkan dengan serius adalah: haruskah kita kembali ke desa? Kalau Singgih sih bilang yes, Anda?
 
Startup masuk desa

Dan berikut ini adalah rangkaian kebetulan lainnya yang membuat desa benar-benar mengusik pikiran saya hingga menelurkan tulisan ini.

Jumat, 15 April 2016, Kementerian Komunikasi dan Informatika resmi mengumumkan program terbaru bernama Solusi Desa Broadband Terpadu. Kegiatan ini diharapkan bisa mendatangkan solusi teknologi, mungkin berupa aplikasi, untuk membantu masalah-masalah di desa.

Sebelumnya, 11 April 2016, Presiden Joko Widodo telah meresmikan Program Sinergi Aksi Untuk Ekonomi Rakyat dalam sebuah seremoni di Desa Larangan, Kecamatan Larangan, Brebes, Jawa Tengah. Turut diperkenalkan pada acara itu adalah lima layanan untuk petani.

Terdiri atas empat aplikasi, yaitu Petani, Tanihub, Lima Kilo, dan Pantau Harga. Selain itu ada sebuah ekosistem UMKM online Indonesia bernama Nurbaya Initiative yang juga diperkenalkan.

Jelas bukan pada tempatnya untuk saya menilai aplikasi dan ekosistem tersebut. Orang yang paling berhak untuk menilai adalah para petani, penduduk desa, pengusaha mikro dan siapapun yang jadi sasaran aplikasi dan inisiatif digital tadi.

Menggembirakan melihat perhatian yang kuat pada desa, pedesaan dan masyarakat “pinggiran”. Lebih menggembirakan lagi kalau memang apa yang didatangkan ini adalah demi kesejahteraan bersama, baik sejahtera materi maupun sejahtera pikirannya.

Startup, sepertinya, sudah mulai masuk desa. Sudah jadi “startup masuk desa”. Istilah yang mengingatkan pada program lawas “ABRI masuk desa” (AMD) yang digalakkan pemerintahan Orde Baru. Tentunya, jika AMD digelar untuk membantu pembangunan infrastruktur fisik, startup masuk desa harusnya punya dampak yang berbeda.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com