Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wicak Hidayat

Penulis teknologi yang saat ini terjun bebas ke dunia startup digital. Ia aktif di Code Margonda bersama komunitas lainnya di Depok. Juga berperan sebagai Tukang Jamu di sebuah usaha rintisan bernama Lab Kinetic.

kolom

Startup Masuk Desa, Startup Rindu Desa

Kompas.com - 19/04/2016, 11:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorReza Wahyudi

Saya dibesarkan di sebuah kota pinggiran bernama Depok, bukan kota besar seperti Jakarta. Pada masa kecil saya, Depok masih kota pinggiran yang mungkin lebih mirip kampung daripada kota. Berbeda dengan sekarang.

Ada satu periode dalam hidup saya ketika, setiap pulang sekolah, saya akan buru-buru menanggalkan pakaian dan nyebur ke empang. Ada masa-masa di mana hiburan paling asyik buat kami adalah berjalan menyusuri rawa dengan membawa dahan kayu dan ranting.

Tidak, saya bukan luddite yang mencibir era PlayStation, Xbox, dan mobile gaming seperti sekarang ini. Saya juga menikmati semua game digital itu, meskipun harus diakui selalu kalah kalau beradu PES (dulu: Winning Eleven) dan tak pernah finish memainkan Assassin’s Creed.

Maksudnya begini, saya mungkin termasuk orang yang punya masa kecil cukup beruntung karena bisa menikmati dua dunia: kehidupan ala kampung dan kota. Tapi saya bukan orang desa, dan tak akan pernah berpura-pura memahami sepenuhnya apa makna hidup di desa.

Desa bagi saya bagaikan sebuah tempat mitologis ala-ala valhalla atau shangrila. Desa yang saya tahu adalah lagu Desaku yang Kucinta (karya L. Manik), yang selalu mewujud sebuah kerinduan yang tidak nyata, tapi anehnya selalu ada (dan menghantui pikiran).

Desa masuk pikiran

Maka jadi sebuah kebetulan yang beruntun ketika, dalam dua pekan terakhir, desa tiba-tiba menjajah pikiran saya sedemikian rupa. Reaksi awal saya jelas adalah gagap, merasa sebagai orang kota (meski pinggiran) saya merasakan iri sedemikian rupa pada desa.

Awalnya adalah sebuah sesi berbagi yang dilakukan Dhini Hidayati, cofounder dari Gandeng Tangan, salah satu pemenang kompetisi The Nextdev. Ia berkisah masa-masa ketika bergabung dengan relawan Indonesia Mengajar (dan juga masa-masa KKN di UI).

Kisahnya terlalu panjang untuk diceritakan kembali di sini. Dan saya tahu pasti akan kehilangan banyak nuansa dan detil yang hanya bisa didapat dengan mendengarnya secara langsung. Tapi satu hal yang saya bisa tangkap, memang desa di Indonesia masih punya banyak masalah.

Sebelum lebih jauh, perlu ditegaskan bahwa masalah di desa tidak akan selesai dengan cara mengubah desa menjadi kota. Ini perlu dicetak tebal, digaris bawahi, dan dilingkari dengan spidol merah: desa tidak perlu menjadi kota!

Kalau itu sudah jelas, saya mau cerita lagi. Desa yang digambarkan Dhini adalah keberagaman, dari satu sudut Indonesia ke sudut Indonesia lainnya, desa memiliki perbedaan yang luar biasa. Mulai dari geografis hingga kebiasaan dan budaya penduduknya. Desa di timur dan desa di barat (Indonesia, tentunya) punya masalah yang berbeda.

Di satu desa di sebuah pulau terpencil, mungkin penduduknya bisa makan ikan (atau bahkan lobster), meskipun tak ada beras. Karena beras hanya datang lewat kapal, dan kalau ombak tinggi kapal tidak datang. Di desa yang lain, di pulau yang lain, penduduknya justru nyaris tak pernah makan ikan. Karena ikan itu laku dijual dan ikan lebih baik dijual daripada dimakan.

Berangkat dari situ, meskipun saya baru tahu permukaannya saja, ada sebuah fakta yang tak bisa diabaikan: masalah desa-desa di Indonesia itu berbeda-beda, rasanya tak mungkin dipecahkan dengan satu solusi seragam untuk semua. Jadi, jangan berharap pada  jamu ajaib.

Kembali ke desa

Kebetulan kedua adalah datangnya seorang tokoh ternama, aktivis perdesaan, ke Depok. Kesempatan emas untuk bertemu dengannya tak mau saya sia-siakan. Namanya Singgih Kartono, namun mungkin orang lebih kenal produknya daripada namanya. Singgih adalah pria kalem di balik radio kayu Magno yang sudah mendunia, dan sepeda bambu Spedagi.

Kisah Singgih sudah banyak diceritakan, jadi rasanya tak perlu diceritakan lagi di sini. Satu hal yang menarik buat saya adalah pandangannya akan masa depan. Singgih yakin seyakin-yakinnya bahwa desa adalah masa depan.

Menurut Singgih, masa depan akan menghadirkan masyarakat yang tidak terpusat namun saling terhubung (decentralized networked society). Bayangannya seperti desa yang setiap penduduknya senantiasa terhubung ke internet. Untuk apa? Apalagi kalau bukan akses informasi.

Di desa masa depan itu, nilai-nilai yang dianggap lawas di perkotaan masa kini akan kembali dijunjung tinggi. Nilai kebersamaan, gotong-royong dan spritualisme bakal menjadi sesuatu yang dianggap baik. Kontras dengan nilai-nilai semau gue, acuh-tak acuh dan materialisme yang jadi norma di kota.

Tapi begini, konon masa depan itu adalah apa yang kita lakukan saat ini. Maksudnya, masa depan itu dibuat dan bukan ditunggu. Artinya, jangan cuma duduk diam dan terima nasib, mulailah menyusun masa depanmu sendiri. Bangun woy, bangun!

Singgih agaknya percaya itu, karena ia terbukti telah membangun desanya sendiri, dan dengan itu membangun masa depan yang ia inginkan. Ia melakukan itu di sebuah desa bernama Kandangan, di wilayah Temanggung, sekitar dua jam perjalanan dari Jogja. Ia menjadikan Kandangan, yang memang kampung halamannya, pusat dari kegiatan produksi Magno dan Spedagi.

Tapi jangan bayangkan pabrik-pabrik besar berdinding kelabu, dengan asap hitam membumbung dari cerobong-cerobong tinggi. Produksi dilakukan dengan tangan, memberdayakan warga desa dan menjaga kelestarian lingkungan. Satu tahun, kata Singgih, gunakan satu pohon saja untuk produksi dan harus tanam lebih banyak dari yang digunakan.

Namun Singgih memahami, masalah di desa masih banyak. Dalam perbincangan dan pemaparannya, ia menyiratkan satu masalah yang sedang dihadapi di banyak tempat. Desa kehilangan manusianya, orang-orang pindah ke kota dan meninggalkan desa.

Saat manusia berubah menjadi manusia kota, ada yang benar-benar berubah. Bukan hanya soal cara pandang dan kebiasaan, namun secara struktur otak memang ada perubahan. Sebuah penelitian di jurnal Nature menunjukkan adanya perubahan biologis pada otak manusia kota dan manusia desa. Manusia kota, menurut studi itu, memiliki bentuk otak yang membuatnya lebih mudah stress, yang pada gilirannya ini bisa meningkatkan risiko schizoprenia. Kalau melihat hal itu, pertanyaan yang harus dipertimbangkan dengan serius adalah: haruskah kita kembali ke desa? Kalau Singgih sih bilang yes, Anda?
 
Startup masuk desa

Dan berikut ini adalah rangkaian kebetulan lainnya yang membuat desa benar-benar mengusik pikiran saya hingga menelurkan tulisan ini.

Jumat, 15 April 2016, Kementerian Komunikasi dan Informatika resmi mengumumkan program terbaru bernama Solusi Desa Broadband Terpadu. Kegiatan ini diharapkan bisa mendatangkan solusi teknologi, mungkin berupa aplikasi, untuk membantu masalah-masalah di desa.

Sebelumnya, 11 April 2016, Presiden Joko Widodo telah meresmikan Program Sinergi Aksi Untuk Ekonomi Rakyat dalam sebuah seremoni di Desa Larangan, Kecamatan Larangan, Brebes, Jawa Tengah. Turut diperkenalkan pada acara itu adalah lima layanan untuk petani.

Terdiri atas empat aplikasi, yaitu Petani, Tanihub, Lima Kilo, dan Pantau Harga. Selain itu ada sebuah ekosistem UMKM online Indonesia bernama Nurbaya Initiative yang juga diperkenalkan.

Jelas bukan pada tempatnya untuk saya menilai aplikasi dan ekosistem tersebut. Orang yang paling berhak untuk menilai adalah para petani, penduduk desa, pengusaha mikro dan siapapun yang jadi sasaran aplikasi dan inisiatif digital tadi.

Menggembirakan melihat perhatian yang kuat pada desa, pedesaan dan masyarakat “pinggiran”. Lebih menggembirakan lagi kalau memang apa yang didatangkan ini adalah demi kesejahteraan bersama, baik sejahtera materi maupun sejahtera pikirannya.

Startup, sepertinya, sudah mulai masuk desa. Sudah jadi “startup masuk desa”. Istilah yang mengingatkan pada program lawas “ABRI masuk desa” (AMD) yang digalakkan pemerintahan Orde Baru. Tentunya, jika AMD digelar untuk membantu pembangunan infrastruktur fisik, startup masuk desa harusnya punya dampak yang berbeda.

Satu hal yang menarik dari dunia startup adalah cara pikir. Kesalahan yang umum dari membuat produk adalah menggunakan landasan asumsi. Misalnya asumsi tentang bagaimana teknologi itu akan digunakan.

Cara berpikir design thinking, yang kerap dielu-elukan di dunia startup, mencoba mengatasi asumsi itu. Kegiatan seperti design ethnography, misalnya, bisa sangat bermanfaat saat startup menjangkau desa. Kegiatan berupa wawancara di lapangan ini diharapkan bisa menyelaraskan piranti dan produk dengan kasus dan kebutuhan yang diamati langsung di lapangan.

Nah, sekarang yang bisa dilakukan adalah menunggu. Berharap kegiatan seperti Solusi Desa Broadband Terpadu bisa membawa sepercik kesegaran pada masalah terkait desa yang sesungguhnya adalah bagian dari masalah kita bersama.

Jika tidak bisa? Semoga cara pikir startup yang lain juga bisa diterapkan. Cara berpikir yang saya maksud adalah: fail early, fail often. Maksud dari hal itu adalah, setiap kegagalan adalah peluang untuk belajar. Jadi jangan takut salah, jangan takut gagal!

Hmm, omong-omong soal startup masuk desa ini, saya kok jadi rindu desa ya? Tiba-tiba muncul keinginan untuk menanggalkan pakaian dan nyemplung di kali sebelah rumah. Byur!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com