Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wicak Hidayat

Penulis teknologi yang saat ini terjun bebas ke dunia startup digital. Ia aktif di Code Margonda bersama komunitas lainnya di Depok. Juga berperan sebagai Tukang Jamu di sebuah usaha rintisan bernama Lab Kinetic.

kolom

Bertemu Mesin yang Bisa Belajar

Kompas.com - 26/05/2016, 11:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorReska K. Nistanto


Sudah banyak, sangat banyak, terlalu banyak, disampaikan dalam cerita-cerita novel, film dan di layar kaca, tentang mesin yang pemarah. Tentang mesin, robot atau kecerdasan buatan, yang berbalik menyerang pemiliknya. Berbalik menyerang manusia.

Kita tahu Terminator, yeah Arnold Schwarzenegger, yang pada awal kemunculannya adalah monster bertubuh manusia berotot kekar, yang tak kenal lelah dan rasa sakit, dengan keteguhan yang bukan main menyerbu dan memburu targetnya.

Tentunya, bagi yang mengikuti film-film Terminator, tampak jelas bahwa kengerian sesungguhnya datang bukan dari Arnold “Asta La Vista Baby” Schwarzenegger belaka, toh belakangan justru Arnold jadi pahlawan kan? Kengerian terbesar dari rangkaian film itu adalah Skynet.

Skynet, skynet, skynet. Kecerdasan buatan super pintar yang bahkan bisa mengirimkan pion melintasi waktu dan berusaha membunuh Sarah Connor, ibu dari John Connor, pria yang nantinya bakal menjadi lawan utama Skynet.

Skynet tak berwujud, Skynet tak bernafas dan Skynet tak bisa dimatikan. Kecerdasan sintetis yang awalnya dibuat untuk menjadi sistem pertahanan malah berbalik menyerang manusia. Skynet seperti hantu, momok yang menyelinap di sendi-sendi kesadaran manusia, selalu membisikkan ketakutan yang luar biasa.

Dan dia tidak sendiri, kita sudah melihat berbagai bentuk “makhluk sintetis” yang berani melawan manusia. Ada HAL dari 2001: A Space Odyssey, yang terkenal dengan perangai tenang namun mematikan itu. Atau, dalam film-film Marvel, kita telah menyaksikan Ultron, gabungan antara kecerdasan buatan dan mistis, anak haram Tony Stark yang berniat menghapus manusia dari bumi.

Takut

Tapi bukan hanya di fiksi, kita sudah dengar di dunia nyata orang-orang yang merasa takut dan ngeri akan kecerdasan buatan bakal mampu mengganyang manusia. Ganyang! Manusia bakal diganyang mesin, diperbudak! Ngeri nggak tuh!?

Dan catat, ini bukan orang-orang biasa yang bicara sambil ngopi-ngopi cantik di kedai kopi ala-ala di pusat kota Jakarta. Bukan begitu. Ini adalah pembicaraan dan pemikiran dari para pemuka teknologi. Tak kurang dari fisikawan Stephen Hawking, pendiri Microsoft, Bill Gates dan si jenius super kaya, Elon Musk. Bahkan Musk pernah mengatakan, pengembangan kecerdasan buatan adalah “ancaman terbesar bagi eksistensi manusia di bumi ini.”

Namun Musk dan kawan-kawan tak tinggal diam. Mereka sekarang sedang membuat sebuah inisiatif untuk mengatasi hal itu. Tenang, mereka bukan sedang membuat The Resistance ala John Connor kok, mereka bukan sedang menumpuk senjata dan bersiap untuk perang. Musk dkk justru membuat inisiatif bernama Open AI yang mengembangkan kecerdasan buatan dengan cara etis dan terbuka.

Musim Semi

Dari gelaran Google I/O pekan lalu, Machine Learning (semacam bentuk kecerdasan buatan juga) jelas menjadi satu hal yang ditonjolkan. Dalam sebuah diskusi panel, ditegaskan bahwa saat ini, masa yang sedang kita alami ini adalah “musim semi” dari machine learning.

Artinya apa? Musim semi dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa bidang machine learning masih dalam tahap-tahap awal, masih sedang tumbuh mekar di sana-sini, bermunculan bagai bunga-bunga musim semi, setelah bertahun-tahun dikembangkan.

Di musim semi ini, kegunaannya mulai bisa dirasakan. Contohnya pada Google Photos, yang memungkinkan pencarian foto dengan memasukkan kata kunci tertentu. Atau, pada Google Assistant, sebuah layanan yang akan datang dari Google, yang bisa menjadi teman bercakap-cakap, asisten pribadi, yang terus mempelajari kebiasaan penggunanya hingga bisa menebak balasan chat apa yang perlu disampaikan oleh pengguna itu.  

Jika musim seminya saja sepeti itu, maka musim panasnya bakal seperti apa? Musim panas, jelas, mengacu pada masa ketika machine learning sudah matang dan mencapai potensi maksimalnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com