Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Zuckerberg yang Mau Hancurkan Google Plus

Kompas.com - 08/06/2016, 03:20 WIB
Oik Yusuf

Penulis

KOMPAS.com - Tahun 2011, Google meluncurkan jejaring sosial baru yang dinamakan Google Plus. Kedatangannya segera memicu reaksi dari Mark Zuckerberg, pendiri sekaligus CEO Facebook.

Garcia Martinez, seorang mantan pegawai Facebook, menuturkan bahwa ketika itu Google Plus dipandang sebagai serangan langsung dari Google terhadap Facebook.

“Zuck (panggilan Zuckerberg) menganggapnya ancaman eksistensial yang sebanding dengan tindakan Soviet menempatkan senjata nuklir di Kuba pada 1962,” sebut Martizez dalam sebuah buku yang nukilannya dimuat oleh Vanity Fair, sebagaimana dirangkum KompasTekno, Rabu (8/6/2016).

Sebelumnya, Google memang sudah “terganggu” oleh Facebook karena talenta berbakatnya semakin banyak yang memutuskan pindah ke perusahaan saingan itu.

Padahal, dulu Google sempat meremehkan Facebook di masa-masa awal layanan jejaring sosial tersebut. Nah, Google Plus merupakan langkah perdana Google untuk langsung menohok Facebook secara terang-terangan.

Zuckerberg pun menabuh genderang perang. Dalam sebuah pidato di depan para pegawai lelaki 32 tahun yang drop-out dari universitas Harvard ini mengutip kata-kata senator Romawi, Cato the Elder, semasa perang melawan Carthage, ratusan tahun sebelum Masehi.

“Anda tahu, salah seorang orator Romawi favorit saya selalu mengakhiri pidato dengan kalimat Carthago delenda est, artinya ‘Carthage harus hancur’. Entah kenapa saya memikirkan itu sekarang,” tulis Martinez mengulangi ucapan Zuckerberg yang seolah ingin meremukkan sang rival baru Facebook.

Lockdown

Zuckerberg beranggapan bahwa Google Plus dan Facebook bakal bersaing keras memperebutkan pengguna. Terlebih, Google Plus turut didukung oleh aneka layanan online Google seperti Gmail dan Search.

Menurut Martinez, Zuckerberg lantas menerapkan status khusus yang disebut “Lockdown” di kantor. Ini adalah status khusus di mana para pegawai didorong untuk bekerja lebih keras dalam mengatasi suatu kendala, entah yang bersifat teknis atau berupa pesaing seperti dalam kasus Google Plus.

Tim programmer lebih giat mencermati baris kode fitur baru supaya tak menimbulkan masalah di kemudian hari, sementara berbagai elemen Google Plus dibedah luar dalam oleh para petinggi di Facebook.

Bahkan kafe di kantor Facebook juga dibuka saban akhir minggu supaya keluarga bisa mengunjungi pegawai yang terpaksa lembur, demi meningkatkan kualitas produk agar dapat meredam Google Plus sebelum sempat berkembang.

Akhirnya, pada April 2014, Vic Gundotra, punggawa Google Plus yang merintis proyek jejaring sosial itu, resmi mengundurkan diri dari Google.

Meski tak diakui terang-terangan oleh Google, mundurnya Gundotra diartikan sebagai sinyalemen bahwa Google sudah lempar handuk. Jejaring sosial Google+ telah kalah bersaing melawan Facebook.

Apalagi, sejumlah tim produk Google Plus, seperti yang menangani aplikasi chatting Hangout dan layanan photo sharing Photos, kemudian dipreteli dan dialihkan ke divisi Android.

Bagaimana dengan Facebook? Setelah upaya Google menyainginya gagal, perusahaan itu tetap menjadi jejaring sosial terbesar di dunia. Google pun masih  tetap merajai search. Keduanya tetap menjadi raksasa teknologi di bidang masing-masing

Entah bagaimana Zuckerberg menyikapi Snapchat yang mulai menyaingi popularitas Facebook. Mungkin dia akan kembali mengulang perkataan Cato the Elder?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com