Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wicak Hidayat

Penulis teknologi yang saat ini terjun bebas ke dunia startup digital. Ia aktif di Code Margonda bersama komunitas lainnya di Depok. Juga berperan sebagai Tukang Jamu di sebuah usaha rintisan bernama Lab Kinetic.

kolom

Gampang Masuk Perangkap, Kita Manusia atau Tikus?

Kompas.com - 08/08/2016, 11:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorDeliusno

Joni dkk dalam perangkap

Masih ingat kisah tikus tadi? Ingatkah bahwa tikus (dan manusia) bisa terjebak perangkap karena mengulang-ulang kebiasaannya.

Tahukah Anda bahwa banyak penyedia layanan online yang memasang perangkap? Bahkan perangkap itu sangat nyaman dan menyenangkan sampai-sampai kita terlena olehnya.

Joni dan para pengikutnya, sesungguhnya telah terjebak dalam perangkap itu. Dan setelah terperangkap, sungguh sulit bagi mereka untuk kembali, kecuali mereka sendiri yang menginginkannya.

Ini adalah kejadian yang disebut Eli Pariser sebagai The Filter Bubble -- seperti dijelaskannya dalam buku The Filter Bubble: What The Internet is Hiding from You, terbitan Penguin, 2011. Kalau tidak sempat baca bukunya, ada juga video 9 menitan Pariser dalam acara TED yang tersedia di YouTube (https://youtu.be/B8ofWFx525s). Saya juga cuma nonton videonya kok.

Dalam wawancara dengan Amazon soal bukunya, Pariser mengatakan hal berikut ini:

Kita terbiasa menganggap internet sebagai sebuah perpustakaan besar, dengan layanan seperti Google yang menyediakan peta semesta. Tapi, hal itu sudah tidak lagi benar.

Situs seperti Google, Facebook dan bahkan Yahoo News hingga New York Times sekarang makin banyak menampilkan informasi yang dipersonalisasikan -- sesuai dengan sejarah kunjungan web Anda.

Mereka menyaring informasi untuk menampilkan hanya hal-hal yang menurut mereka Anda ingin lihat. Hal itu bisa sangat berbeda dari yang dilihat orang lain -- atau dari yang kita butuhkan.

Gelembung saringan Anda adalah semesta informasi yang unik, personal dan diciptakan hanya untuk Anda melalu serangkaian filter personalisasi itu. (Gelembung saringan itu) tidak kasat mata dan semakin sulit bagi Anda untuk keluar darinya. (Eli Pariser; https://www.amazon.com/exec/obidos/ASIN/1594203008/)

Demikian Eli Pariser menjelaskan gelembung itu. Gelembung yang, bisa jadi telah menjebak hampir semua pengguna media sosial dengan nyaman. Ini bukan hanya terjadi di Indonesia lho, bukan hanya pada Joni dan pengikutnya, tapi pada kita semua, semakin sering kita menggunakan media sosial dan layanan lainnya, semakin mudah kita masuk perangkap yang empuk.

Ini lebih parah dari confirmation bias, yaitu keadaan ketika manusia lebih mudah menerima informasi yang membenarkan hal yang sudah ia percaya daripada yang menentangnya. Ini bahkan tidak memberi kesempatan manusia untuk melihat pandangan yang berlawanan.

Atau, lebih tepatnya, gelembung saringan ini telah membuat bias konfirmasi itu menjadi semakin kuat. Bahkan saking kuatnya hingga, dan ini yang cukup menakutkan, bisa mendorong orang untuk bertindak sesuai informasi itu.

Joni lagi, Joni lagi

Oke, cukup ceramahnya. Kita coba kembali pada kisah si Joni. Semoga Anda belum bosan dan masih terus membaca. Kalau tidak, ya ndak apa-apa, selama sudah klik Like dan Share.

Suatu hari, Si Joni dapat kisah yang mengerikan. Sebuah kandang sapi diobrak-abrik oleh kelompok peternak ayam. Rupanya mereka kesal karena sapi jadi makanan utama di wilayah itu, atau mereka ingin agar orang makan ayam juga, atau apalah. Intinya, Joni kesal, Joni marah, Joni mengamuk.

Dari balik layar Joni mengutuk. Ia mulai menulis, menyebarkan kabar yang menurutnya sangat harus disebarkan itu. Lalu ribuan orang bereaksi, menyebarkan lagi kabar itu. Hingga, nah ini yang seram sekali, teman-teman Joni di wilayah yang diisukan tadi mulai melakukan aksi brutal. Mereka mencabuti bulu-bulu ayam dari peternakan setempat, mengusir ayam-ayam dan bahkan hampir... hampiiiir saja… membakar  sebuah peternakan ayam.

Kemudian terungkap, bahwa aksi pencinta ayam yang mengobrak-abrik kandang sapi itu ternyata tidak pernah terjadi. Kejadian sesungguhnya? Peternak sapi rupanya membeli ayam untuk kenduri dan peternak ayam datang mengantarkan.

Saat ditanya, kenapa menyebarkan informasi yang salah itu, Joni hanya berkata: “Saya kan hanya menyebarkan, silakan mereka yang menerima mencoba mencari tahu hal yang sebenarnya. Saya sudah bilang kok, saya cuma share, kabar ini belum tentu benar,” ujar Joni.

Kami suka, Joni suka

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com