KOMPAS.com - Sejak diluncurkan pada 2009 lalu, WhatsApp berhasil menjaga prinsipnya sebagai layanan "bersih". Tak ada iklan, game, stiker, kanal jualan, atau hal lain yang umumnya merecoki pengguna dalam menggunakan layanan pesan instan (chatting).
Prinsip itu mulai diragukan ketika WhatsApp diakuisisi Facebook pada 2014 lalu. Netizen curiga ada udang di balik batu atas keputusan Facebook.
Pasalnya, pendapatan utama Facebook berasal dari iklan. Dengan pertumbuhan pengguna WhatsApp yang pesat, tak menutup kemungkinan Facebook bakal memanfaatkan database layanan itu untuk kebutuhan pengiklan.
CEO WhatsApp, Jan Koum, menampik kecurigaan tersebut. Ia berjanji tak akan ada yang berubah dari layanan yang ia rintis pasca dicaplok sang raksasa jejaring sosial. Facebook dan WhatsApp, kata dia, bakal jadi dua layanan yang beroperasi sendiri-sendiri tanpa saling mengintervensi kebijakan perusahaan masing-masing.
Diduga ingkar janji
Dua tahun pasca diakuisisi, WhatsApp mulai menunjukkan gelagat ingkar janji. Layanan bernuansa hijau itu menghapus biaya berlangganan 1 dollar AS per tahun pada Januari 2016. Artinya, layanan chatting itu bisa digunakan secara cuma-cuma untuk selamanya.
Masalahya, biaya iuran itu merupakan satu-satunya pemasukan WhatsApp selama ini. Lantas, dari mana WhatsApp dapat duit jika pungutan itu dipangkas?
Pertanyaan itu kembali mengundang kecurigaan. Netizen lagi-lagi mengendus niatan Facebook memanfaatkan WhatsApp sebagai mesin penghimpun database bagi pengiklan. Apalagi pengguna aktif WhatsApp sudah menyentuh angka 990 juta atau sepuluh juta menuju 1 miliar.
“Orang-orang mungkin bertanya bagaimana kami menjalankan WhatsApp tanpa menarik biaya langganan, atau khawatir bahwa pengumuman ini bakal menandai kehadiran iklan pihak ketiga. Jawabannya adalah tidak akan ada iklan,” ia menuliskan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.