Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Naik Pesawat Ini Jika Ingin Efek "Jet Lag" Berkurang

Kompas.com - 14/09/2016, 19:15 WIB
Reska K. Nistanto

Penulis

KOMPAS.com - Pabrikan pesawat dunia, seperti Airbus dan Boeing, berupaya untuk mengurangi efek jet lag penumpang pesawatnya yang terbang jarak jauh (long haul). Materi baru dipakai untuk membuat badan pesawat, ditambah sejumlah fitur pendukung lainnya.

Seperti diketahui, Airbus dan Boeing masing-masing merilis generasi terbaru pesawatnya, A350-XWB dan B787 Dreamliner. Kedua pesawat tersebut menggunakan bodi berbahan serat karbon (komposit), bukan aluminium seperti yang dipakai di generasi pesawat sebelumnya.

Lantas, apa kontribusi material serat karbon ini kepada efek jet lag penumpang?

Apa itu jet lag?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya mengetahui arti jet lag terlebih dahulu. Jet lag adalah efek yang dirasakan setelah seseorang terbang dengan pesawat dalam waktu yang lama. Efek yang ditimbulkan bisa bermacam-macam, seperti sakit kepala, nafsu makan berkurang, lemas, rasa tidak nyaman di perut, dan kesulitan untuk tidur.

Hal itu diperparah dengan gangguan ritme tubuh akibat perbedaan waktu istirahat, antara tempat asal dan tujuan.

Gejala-gejala seperti di atas mirip dengan gejala mountain sickness (penyakit di ketinggian) yang biasa dialami seseorang yang berada di ketinggian lebih dari 6.500 kaki (2 km) di atas permukaan laut.

Sementara saat ini, tekanan udara di dalam kabin pesawat pada umumnya diatur setara dengan ketinggian 8.000 kaki. Hal itu dilakukan agar manusia bisa bernafas normal meski pesawat terbang di ketinggian hingga 35.000 kaki.

Nah, untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, dengan materi baru berbahan serat karbon, Airbus dan Boeing bisa menurunkan cabin altitude (tekanan udara di dalam kabin) hingga setara di ketinggian 6.000 kaki, bukan 8.000 kaki lagi.

Materi serat karbon diyakini Airbus dan Boeing mampu menahan tekanan udara yang lebih tinggi dibandingkan dengan materi aluminium di kebanyakan model pesawat yang ada saat ini.

Pabrikan pesawat selama ini tidak ingin cabin altitude dibuat serendah mungkin (tekanan udaranya makin tinggi), karena tekanan udara yang tinggi di dalam kabin bisa meningkatkan stress di logam bodi pesawat, sehingga memperpendek umur logam tersebut.

"Dreamliner memiliki bodi berbahan komposit yang memungkinkan kami mengatur tekanan udara sesuai keinginan kami, karena materinya lebih tahan tekanan," ujar Blake Emery, Director of Differentiation Strategy Boeing, seperti dikutip KompasTekno dari Business Insider, Rabu (14/9/2016).

Studi perihal jet lag

Studi yang dilakukan oleh Boeing bersama dengan Oklahoma State University juga berupaya membuktikan, semakin tinggi tekanan udara (cabin altitude rendah), maka tubuh menjadi lebih segar.

Dalam studi tersebut ditemukan, penumpang yang terbang di kabin bertekanan setara 8.000 kaki memiliki kadar oksigen dalam darah yang lebih rendah 4 persen dibanding penumpang yang berada dalam kabin bertekanan 6.000 kaki.

Dengan tekanan udara yang setara 6.000 kaki di atas permukaan laut, kadar oksigen menjadi lebih tinggi, dan penumpang di dalamnya diharapkan bisa beraktivitas lebih nyaman.

Walau tidak memicu langsung mountain sickness, namun menurut para ahli, paparan yang terlalu lama seperti tiga hingga sembilan jam bisa menimbulkan ketidaknyamanan dalam tubuh.

"Studi di ketinggian 6.000 kaki menunjukkan efek reaksi tubuh yang sama di ketinggian setara air laut, maka kami membuat kabin Dreamliner bertekanan 6.000 kaki," ujar Emery.

Pun demikian dengan Airbus. Bodi pesawat A350 XWB yang terbuat dari bahan komposit itu juga tahan dengan tekanan udara yang lebih tinggi saat terbang. Kabin A350 XWB juga diatur agar memiliki tekanan udara setara di ketinggian 6.000 kaki.

Bahkan, pabrikan asal Perancis itu juga menambakan fitur sistem kelembaban udara di dalam kabinnya, untuk menjaga agar penumpang tidak mengalami keriput di kulit, serta tenggorokan atau mata kering saat harus terbang jarak jauh.

Reska K. Nistanto/KOMPAS.com Konfigurasi kelas Ekonomi yang tetap lega di pesawat A350 Qatar Airways, dengan pengaturan kursi 3-3-3.
Selain itu, Airbus dan Boeing juga memiliki sistem tata cahaya kabin yang bisa memancarkan ribuan kombinasi warna, dengan penggunaan lampu LED.

Lampu tersebut bisa disimulasikan untuk meniru pencahayaan di luar, seperti saat matahari tenggelam (sunset) atau matahari terbit (sunrise), sehingga diharapkan bisa membantu organ-organ tubuh menyesuaikan diri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com