Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wicak Hidayat

Penulis teknologi yang saat ini terjun bebas ke dunia startup digital. Ia aktif di Code Margonda bersama komunitas lainnya di Depok. Juga berperan sebagai Tukang Jamu di sebuah usaha rintisan bernama Lab Kinetic.

kolom

Sempatkanlah Bermain agar Awet Muda

Kompas.com - 22/09/2016, 11:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorDeliusno

Sewaktu kecil, seingat saya, kami adalah generasi yang gemar bermain. Saya tinggal di Perumnas, bukan di kota tapi juga bukan di desa dan di masa itu siaran televisi belum ada yang swasta (apalagi televisi berlangganan).

Sekolah juga tidak seharian, maka kami punya banyak waktu luang. Biasanya bisa dihabiskan dengan permainan iseng-iseng asyik.

Salah satu kesukaan saya adalah Dampu, entah apa namanya kalau di daerah lain. Permainan ini melibatkan batu yang agak ceper dilontarkan ke sasaran yang juga berupa batu yang diberdirikan. Cara melontarkannya unik, karena si batu harus diletakkan di atas kura-kura kaki dan pemain harus berdiri di atas satu kaki untuk mengayunkannya.

Ketika dewasa, dan saya berkenalan dengan para perancang game--seperti Eko Nugroho dari Kummara, Bandung--saya mulai memahami kenapa permainan itu menyenangkan. Ada beberapa unsur sih, sebenarnya.

Pertama, permainan itu asyik karena ada proses pengambilan keputusan di situ. Dalam hal Dampu tadi, pengambilan keputusan dimulai sejak proses mencari batu. Batunya harus tepat, cukup pipih untuk bisa dilontarkan tapi juga cukup kokoh saat harus menjadi batu sasaran pemain lain.

Kedua, permainan Dampu itu seru karena ada ketangkasan di sana. Ketangkasan, kadang disebut juga faktor “twitch” dalam game, adalah ketika kita mengambil keputusan dalam waktu cepat, seperti saat hendak melontarkan batu ke sasaran. Kapan harus mengayun, seberapa keras dan lain-lain, semua keputusan itu diambil dalam sepersekian detik.

Ketiga, yang membuat sebuah permainan itu menyenangkan adalah karena dilakukan bersama-sama teman. Biasanya saya bermain Dampu dengan tetangga sebelah dan kakak-kakak kami. Saling bercanda, tertawa, dan berusaha menang serta menerima kekalahan jadi bagian tak terpisahkan.

Sekarang main apa?

Saya bukan tipe orang yang kemudian bilang: ah, anak sekarang mah nggak seru. Kami dulu mainnya pakai batu sungguhan, atau bambu, sekarang mah cuma tat-tit-tut di layar saja.

Meskipun memang harus diakui kalau umur saya sudah terpaut jauh dari “anak sekarang” sungguh, saya tidak akan berkata demikian. Karena, saya percaya, tiga unsur itu (dan unsur asyik lainnya) masih bisa didapatkan dari permainan zaman sekarang.

Sekarang, saya melihat anak-anak kami bermain Minecraft, lalu saya seperti melihat kemiripan-kemiripan. Mereka melakukan penjelajahan di dunia itu, lalu membuat sesuatu dengan menyusun balok-balok, lalu haha hihi dengan teman-temannya.

Dalam banyak permainan, anak-anak akan mengambil keputusan. Apakah sekarang tokoh di layar itu harus belok kiri atau kanan? Semacam ketangkasan yang terwujud secara digital.

Ada juga permainan yang membuat anak memilih, untuk menggunakan sumber daya tertentu atau mengumpulkannya dulu sebelum menggunakannya. Ini misalnya terjadi di permainan Pokemon Go yang sempat “meledak” itu.

Ada banyak sekali yang sebenarnya dialami oleh seseorang saat bermain game. Aspek-aspek “tersembunyi” seperti manajemen sumber daya, mengambil keputusan dalam waktu singkat (semacam refleks?) hingga mendapatkan pengalaman yang relatif “aman” (bayangkan jika anak harus benar-benar melompati tebing seperti Mario Bros).

Main, bukan cuma main

Meremehkan permainan sebagai sekadar pengisi waktu luang, buat saya menjadi semacam kemalasan untuk melihat sesuatu lebih dari yang tampak di permukaan. Ya, permainan bisa digunakan sebagai sekadar pengisi waktu luang. Tapi permainan juga bisa memiliki makna yang lebih dalam kok.

Seperti semua media yang kita konsumsi--mulai dari buku, majalah, koran, situs berita, radio hingga televisi--game adalah sebuah kesempatan untuk menjelajahi sesuatu. Sia-sia atau tidaknya itu tergantung kepada diri kita masing-masing.

Tentu, segala sesuatu hendaknya dikonsumsi sesuai kewajaran. Menghabiskan berjam-jam melakukan sesuatu tanpa istirahat (bahkan jika sesuatu itu adalah kerja demi bangsa dan negara!) bisa membahayakan diri kita sendiri. Termasuk bermain game.

Kata-kata ini terpampang di sebuah boardgame cafe bernama Castle 8, di Margonda, Depok: Men do not quit playing because they grow old; they grow old because they quit playing. Oliver Wendell Holmes Sr.

Sampai sekarang saya masih menyempatkan diri untuk bermain, seperti saya selalu menyempatkan diri untuk membaca buku. Soal permainan, belakangan memang lebih suka bermain boardgame daripada game digital, karena membuat saya bisa mengalami serunya bermain bersama.
 
Ya, saya memilih untuk percaya pada kata-kata Oliver Wendell Holmes Sr itu. Bagaimana dengan Anda? Yuk, main!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com