Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Mahasiswa Asal Boyolali Magang di Silicon Valley

Kompas.com - 07/10/2016, 15:55 WIB
Fatimah Kartini Bohang

Penulis

Sumber Facebook

KOMPAS.com - Musim panas 2016, Juni sampai September, adalah kali kedua Tri Ahmad Irfan menginjakkan kaki di Negeri Paman Sam. Remaja asal Boyolali itu lagi-lagi magang di kantor pusat Twitter yang bertempat di San Francisco, AS.

Melalui wawancara sekitar 20 menit bersama VOA dan dihimpun KompasTekno, Jumat (8/10/2016), Irfan bercerita panjang lebar soal pencapaian tersebut.

Ia lebih banyak mengumbar perjuangan pada 2015 lalu, ketika berhasil magang di Twitter untuk pertama kalinya. Tahun ini, sensasinya berbeda karena tak ada proses seleksi yang ia lewati. Perusahaan mikroblog-lah yang memintanya kembali menjadi Software Engineering Intern.

"Kalau magang sebelumnya dianggap bagus, biasanya memang dipanggil lagi," kata Irfan sambil tersenyum malu.

Berawal dari Indo2SV

Indo2SV adalah program online yang dibentuk orang-orang Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan teknologi Silicon Valley. Tujuannya untuk membimbing para mahasiswa bertalenta di Tanah Air agar bisa magang di perusahaan teknologi kawakan.

Irfan mengikuti program tersebut tahun lalu, saat masih kuliah semester empat di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Padahal, mahasiswa semester awal biasanya masih sibuk bermain atau berkegiatan di sekitar kampus saja.

Agaknya Irfan memang enggan berleha-leha. Statusnya sebagai anak rantau dari kota kecil di Jawa Tengah membuatnya lebih tertantang untuk unjuk gigi.

Ya, Irfan tak berasal dari keluarga metropolitan yang kaya akses informasi dan melek teknologi. Ia lahir dari keluarga sederhana di Boyolali. Saat SMA, Irfan pindah ke Sragen dan berhasil mendulang prestasi. Sang putra daerah akhirnya lolos jadi mahasiswa di universitas ternama di negeri ini.

Dari situ jalan mulai terbuka lebar. Irfan tak mau jadi mahasiswa sekadarnya yang cuma kuliah-pulang-kuliah-pulang alias "kupu-kupu". Ia banyak membaca buku, membuat proyek kolaborasi, hingga akhirnya mendaftar ke Indo2SV.

"Dulu mentor saya (dari Indo2SV), pegawai di Google. Awalnya saya diajarin bagaimana bikin resume yang bisa menarik perhatian perusahaan di sini, bagaimana cara apply magang, bikin cover letter, sampai tips wawancara," Irfan menjelaskan.

Setelah tiga bulan menjalani program mentorship di Indo2SV, Irfan pun memberanikan diri mengajukan proposal lamaran magang di Twitter untuk pertama kalinya. Kala itu ia juga dibantu dengan surat referensi dari Indo2SV.

Prosesnya cukup panjang. Irfan mulai mendaftar pada November 2014, lalu proses wawancara berlangsung dari Januari hingga Maret 2015.

Dalam satu sesi wawancara via video-conference, kata Irfan, dibutuhkan waktu sekitar 45 menit. Mekanisme wawancaranya pun berbeda dengan perusahaan-perusahaan di Indonesia.

"Di Twitter semua serba teknis, wawancaranya benar-benar menantang pemecahan masalah pemograman," Irfan menjelaskan.

Setelah semua proses dilalui, Irfan mendapat jawaban diterima magang pada April 2015. Periode magangnya berlangsung tiga bulan, sejak Juni hingga September.

Upaya lebih keras

Irfan mengatakan perusahaan-perusahaan di Silicon Valley, secara spesifik Twitter, pada dasarnya terbuka dengan siapa saja yang berniat belajar melalui program magang.

Hanya saja, mendatangkan peserta magang dari luar negeri butuh ongkos lebih, seperti tiket pesawat dan tempat tinggal. Karena itu, persentase anak magang yang kuliah di Amerika Serikat memang lebih banyak.

"Harus ada nilai lebih dari mahasiswa luar Amerika kalau mau terpilih jadi anak magang di Twitter. Kita harus berusaha keras. Kalau soal peluang pasti ada," kata mahasiswa semester tujuh tersebut.

Irfan menggarisbawahi dua pos magang yang peluangnya paling besar untuk mahasiswa dari luar Amerika, yakni programming dan product design. Menurut dia, selain dua divisi tersebut, Twitter cenderung memilih talenta lokal Amerika.

Irfan sendiri magang sebagai software engineer. Menurut dia, ada beberapa bahasa pemrograman yang sebaiknya dikuasai sebelum melamar magang di Twitter. Masing-masing adalah Java, Javascript, Python, dan C++.

Sementara itu, untuk kemampuan Bahasa Inggris, Twitter tak mewajibkan peserta magang menyerahkan sertifikat Toefl dengan skor tertentu.

"Saya nggak pernah tes Toefl. Pas wawancara mereka sudah bisa lihat apakah kemampuan berbahasa saya sudah cukup atau tidak," Irfan menjelaskan.

Sempat tertinggal

Irfan mengakui bahwa pelajaran kuliah ilmu komputer di Indonesia masih kurang luas. Ia bisa bilang begitu karena ternyata banyak hal yang ia tak ketahui setelah menjadi anak magang Twitter.

Mulanya ia merasa tertinggal dari peserta magang lainnya. Tak ingin menyerah, Irfan bekerja lebih keras untuk menyamai pengetahuan yang dimiliki rekan-rekannya.

"Harus berusaha banget. Nggak bisa berhenti belajar," ujarnya.

Berkat kegigihan itu, ia mengklaim sang layanan bernuansa biru senang dengan kinerjanya saat magang tahun lalu. Alhasil, ia ditawari kembali magang pada musim panas tahun ini. Saat diwawancara VOA, Irfan baru saja menuntaskan program magang keduanya di Twitter.

"Ini hari terakhir saya, tadi saya ke kantor Twitter untuk presentasi final," ia menuturkan.

Ke depan, Irfan mengatakan belum punya tujuan spesifik. Yang jelas, ia bakal balik ke Indonesia untuk menyelesaikan studinya. Setelah itu ia masih bingung apakah akan melanjutkan S2, kerja di Indonesia, atau merantau mencari rezeki di negeri Paman Sam.

Baca juga: Orang Indonesia di Balik Game "Assassin's Creed"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Facebook

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com