Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/01/2017, 19:05 WIB
Oik Yusuf

Penulis

KOMPAS.com - Siapa tak kenal Fujifilm? Selama bertahun-tahun lamanya, perusahaan Jepang ini menikmati sukses sebagai salah satu pabrikan film kamera terbesar di dunia.

Toko-toko dan studionya banyak bertebaran, termasuk di Indonesia. Nama "Fujifilm" pun menjadi identik dengan film dan dunia kamera pada umumnya.

Kemudian terjadilah revolusi digital menjelang akhir abad ke-20. Peralihan medium penangkap gambar kamera dari lembaran film menjadi sensor elektronik membuat peruntungan Fujifilm berbalik.

Pada 2001, Fujifilm dan Kodak berada di puncak kejayaan. Keduanya menguasai pasaran film kamera, masing-masing dengan pangsa pasar 37 persen dan 35 persen. Sebanyak 60 persen penjualan dan 70 persen profit Fujifilm berasal dari bisnis film.
 
Pada 2005, penjualan film kamera secara global sudah menyusut tajam sebesar 50 persen. Dalam waktu 10 tahun, kontribusi film kamera terhadap penjualan Fujifilm terjun bebas dari 60 persen menjadi hampir nihil.

Tapi Fujifilm berhasil selamat. Belakangan, meski masih mengemban kata "film" di namanya, perusahaan ini bahkan naik daun dengan lini kamera mirrorless besutannya.

Baca: Apa Itu Kamera Mirrorless, Bedanya dengan DSLR?

Cerita Fujifilm dan Kodak

Fujifilm mengawali hidup pada tahun 1934 sebagai spin off dari divisi film fotografi perusahaan pembuat film sinema di Jepang, Dainippon Celluloid Company.

Ketika itu nama yang diberikan adalah Fuji Photo Film Co., Ltd. Fujifilm mengembangkan bisnis ke ranah manufaktur lensa dan perlengkapan optis pada dekade berikutnya.

Pasca Perang Dunia II, Fujifilm kembali melakukan diversifikasi ke bisnis X-ray untuk keperluan medis, percetakan, electronic imaging, dan magnetic material, lalu melakukan joint venture dengan Xerox pada 1962.

Selama dekade-dekade setelahnya, bisnis film kamera yang menjadi tulang punggung Fujifilm berkembang sehingga menjadi saingan berat Eastman Kodak, raksasa fotografi asal Amerika Serikat yang sudah eksis sejak abad ke-19. .

Ironisnya, Kodak yang menciptakan kamera digital pertama pada tahun 1975 justru tumbang di masa transisi kamera dari film analog ke digital. Sebaliknya, Fujifilm selamat karena telah lebih dulu mengembangkan bisnis dan teknologi hingga turut mencakup ranah medis dan elektronik.

Kepakaran Fujifilm dalam dunia film kamera turut dikembangkan dan diterapkan di bisnis lain, termasuk obat-obatan, bahan kimia, liquid crystal display, bahkan juga kosmetik.

"Faktor penentunya adalah perubahan drastis dalam mentransformasi bisnis kami saat terjadi digitalisasi," komentar CEO Fujifilm Shigetaka Komori, sebagaimana dirangkum KompasTekno dari The Wall Street Journal, Selasa (17/1/2017).

"Baik Fujifilm maupun Kodak sama-sama tahu bahwa era digital datang dengan sangat cepat," lanjut dia. "Pertanyaannya adalah apa yang bakal dilakukan."

Perubahan itu tak mudah. Ribuan karyawan Fujifilm terpaksa dirumahkan, sementara pabrik-pabrik ditutup. Tapi sebagai gantinya Fujifilm berhasil bertahan.

Baca: Video: Menjajal “Mirrorless Selfie” Fujifilm X-A3

Dari film ke digital

Selain film, Fujifilm juga menjual berbagai perlengkapan fotografi lain, termasuk kamera analog yang sudah diproduksi sejak 1948 di bawah brand Fujica.

Memasuki era digital, Fujifilm boleh dibilang merupakan salah satu pelopor. Kodak merupakan penemu kamera digital pertama yang tidak dikomersialkan. Sementara, Fujifilm merupakan perusahaan di balik kamera digital pertama yang dilempar ke pasaran, Fujix DS-1P, yang dirilis pada 1989.

Bersama Nikon, pada tahun 2000 Fujifilm mengembangkan lini kamera Digital SIngle Lens Reflex (DSLR) bernama S1 Pro dengan sensor penangkap bikinan sendiri, tapi lensanya menggunakan mounting Nikon F-Mount.

Namun DSLR Fujifilm tidak bertahan lama. Model terakhir yang dirilis adalah IS Pro yang muncul pada 2007. Fujifilm masih menjual lini kamera saku FinePix dan kamera instan Instax.

Di kemudian waktu, penjualan Instax yang menghasilkan foto bentuk jadi dalam ukuran kecil tercatat jauh melebihi kamera digital Fujifilm.

Pada kuartal fiskal yang berakhir pada Maret 2016 saja, Instax mencatat penjualan 5 juta unit, hampir empat kali lipat kamera digital Fujifilm sebesar 1,4 juta unit.

Baca: Melihat dari Dekat “Mirrorless Selfie” Fujifilm X-A3

Celah retro

Fuji melakukan “comeback” ke ranah kamera interchangeable lens (ILC, kamera yang lensanya bisa diganti-ganti, seperti DSLR dan mirrorless) pada 2012.

Ketika itu Fujifilm merilis produk kamera mirrorless ILC pertamanya, X-Pro1. Kehadiran X-Pro1 sekaligus menandai debut Fujifilm di segmen kamera mirrorless yang belakangan naik daun sebagai alternatif yang lebih ringkas dari kamera jenis DSLR, setelah sebelumnya didului kamera saku X100 dan X10.

Produk-produk kamera “X Series” Fujifilm ini memiliki ciri khas berupa desain retro yang mirip kamera rangefinder dan SLR jadul, sehingga tampil beda dibandingkan kamera digital lain pada umumnya.

Pabrikan kamera lain seperti Olympus sebenarnya telah lebih dulu terjun ke ranah mirrorless dan menerapkan konsep retro serupa, namun Fujifilm melangkah lebih jauh dengan benar-benar membuat sistem kendali yang serupa kamera film dulu.

Di pundak kamera-kamera mirrorless Fujifilm tertanam sebuah kenop untuk mengatur kecepatan rana, sementara lebar bukaan (aperture) bisa disetel lewat cincin di bodi lensa.

Desain yang diusung lini kamera mirrorless Fujifilm rupanya disukai oleh konsumen. Dalam waktu dua tahun setelah pertama diperkenalkan, lini kamera X series Fujifilm telah terjual sebanyak 700.000 unit. Kamera “retro” Fujifilm berhasil menemukan celah di pasaran.

“Karena kami berangkat dari film, kualitas gambar adalah hal penting. Tapi kualitas gambar itu sulit dijelaskan, karenanya kami membutuhkan hal lain,” ujar Hiroshi Kawahara, manajer operasional unit perancangan produk Fujifilm, tentang alasan di balik desain retro kamera Fujifilm, dalam sebuah interview dengan The New York Times.

Chief designer X series, Masazumi Imai, menjelaskan bahwa pihaknya mencoba membuat kamera yang memiliki daya tarik tersendiri, supaya orang-orang yang melihatnya akan tergoda untuk mencoba.

“Ketika kita masih kecil, saat masuk ke kamar ayah atau kakek, ada sebuah kamera yang tampak penting duduk di lemari. Kita diwanti-wanti agar tidak menyentuhnya. Nah, kami ingin memberikan tampang dan feel semacam itu,” kata Imai.

Baca: Jokowi Jadi Bahan Uji Coba Kamera Baru Kaesang

Masih kecil

Meski tengah naik daun di dunia fotografi, bisnis kamera digital sebenarnya hanya menyumbang sebagian kecil dari pemasukan Fujifilm Holdings, perusahaan induk yang membawahi Fujifilm Corportation dan Fuji Xerox.

Bisnis Imaging Solutions yang mencakup aneka produk dan layanan digital imaging memberikan kontribusi 14 persen dari total pemasukan Fujifilm Holdings pada tahun fiskal 2016 sebesar 2.491 miliar Yen.

Dari angka 14 persen tersebut, bisnis optical device dan electronic imaging yang membawahi produk-produk seperti kamera X-series berikut lensa, serta lensa TV, menyumbang angka 4 persen. Sebagian besar pemasukan berasal dari bisnis Documents Solutions (47 persen) dan Information Solutions (39 persen).

Fujifilm memang bukan sekadar perusahaan kamera. Sepanjang sejarahnya, bisnis Fujifilm telah jauh berkembang hingga turut mencakup berbagai area lain, baik yang terkait langsung dengan dunia fotografi ataupun tidak.

Meski demikian, dalam laporan keuangannya untuk periode itu, Fujifilm turut mencatat bahwa penjualan kamera X series mengalami peningkatan penjualan, terutama di wilayah Asia.

Volume penjualan menurun karena model-model kamera saku dipangkas, namun profitabilitas meningkat karena peralihan ke model high-end macam kamera X-series yang lebih menguntungkan.

Ke depan, Fujifilm terus mengembangkan produk kamera dan lensa untuk segmen mirrorless yang diincarnya. Tak mengherankan karena kategori mirrorless di pasaran kamera menunjukkan kecenderungan terus meningkat.

Data pengapalan dari Camera & Imaging Product Association (CIPA) hingga Oktober tahun lalu, misalnya, menunjukkan bahwa mirrorless sudah menguasai 25 persen pasaran kamera ILC secara global.

Langkah baru Fujifilm di dunia kamera terlihat dalam pameran Photokina 2016 di Jerman, saat pabrikan tersebut memperkenakan kamera mirrorless pertama dengan sensor besar medium-format, GFX 50S.

Fujifilm akan kembali menggelar event fotografi di Jepang pada 19 Januari mendatang. Apa lagi produk anyar yang bakal diperkenalkan?

Baca: Resmi, Mirrorless Selfie Fujifilm X-A3 Dijual Rp 8,8 Juta di Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com