BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Panasonic

Vlog "Lucu-lucuan" yang Menyuburkan Sikap Kritis

Kompas.com - 19/07/2017, 08:27 WIB
Dimas Wahyu

Penulis

KOMPAS.com - "Vlog" adalah kata yang secara sederhana diramu dari kata "video" dan "blog", sebuah platform pribadi yang karenanya bersifat suka-suka.

Apakah itu "suka-suka" atau "lucu-lucuan", entah bisa tepat atau tidak jika vlog disebut demikian, nyatanya di satu sisi banyak perusahaan yang coba menggaet para pembuatnya, tetapi di sisi lain semuanya dikerjakan sendiri seakan-akan itu adalah proyek untuk tugas kuliah atau sekolah.

"Mereka menjadi kepala redaksi, sekaligus komisioner, sekaligus pembawa acara, merangkap kru. Mereka mengerjakan sendiri semuanya," kata Dominic Smales, pemilik agen pencari bakat “social talent” Gleam Futures.

Baca: Dari Mana Asal Duit Para Youtuber?

Kekaguman Smales seperti dikutip Financial Times dalam "Is YouTube the New Television?" pada awal kemunculan vlog beberapa tahun lalu itu turut ditunjukkannya pula dengan mengatakan bahwa vlog adalah bentuk baru yang anti-redaksi dalam sebuah kegiatan penayangan.

Sementara itu, Will Awdry, direktur bidang iklan di salah satu kantor agen periklanan Ogilvy, berujar dalam artikel yang sama bahwa vlogger atau si pembuat vlog merupakan wujud kemenangan suara masyarakat.

"Dari mulut mereka, pesan komersial seperti layaknya rekomendasi dari seseorang yang jujur," ujarnya.

Menyuburkan sikap kritis

Vlog sendiri sudah menjadi sesuatu yang bertahan sejak produser video musik Steve Garfield memperkenalkannya pada 2004 lalu.

"Dengan kamera digital yang lebih murah dan ponsel yang bisa merekam video, akan makin banyak orang biasa seperti saya yang akan menjadi jurnalis warga (citizen-journalists)," kata Steve seperti dikutip Time.com di "See Me, Blog Me", yang prediksinya kemudian terjawab.

Akar berupa kemudahan dalam kegiatan menjadi jurnalisme warga itulah yang memberikan jalan, yang di baliknya disadari atau tidak memberikan rasa nyaman untuk coba unjuk diri.


Soerang beauty vlogger memperagakan cara menggunakan sumpit yang dibakar untuk melentikkan bulu mata. DAILYMAIL.COM Soerang beauty vlogger memperagakan cara menggunakan sumpit yang dibakar untuk melentikkan bulu mata.

Secara bersamaan, baik pembuat maupun pembaca ataupun penontonnya turut belajar bersikap kritis secara bertahap karena, seperti pada vlog, tiap-tiap videonya seakan ringan untuk dijajaki.

"Dewasa ini, kegiatan jurnalisme tidak sebatas milik wartawan profesional, melainkan juga warga biasa seiring dengan booming media sosial. Warga biasa itu bisa saja ibu rumah tangga, guru, pelajar... ," ujar mantan wartawan Kompas pendiri Kompasiana, Pepih Nugraha, dalam bukunya, Citizen Journalism: Pandangan, Pemahaman, dan Pengalaman pada awal-awal ketika citizen journalism mewabah.

Pepih Nugraha menekankan bahwa citizen journalism tidak dimaksudkan menjadikan warga biasa menjadi wartawan profesional yang dibayar oleh perusahaan media, tetapi semata-mata hadir untuk menyebarkan semangat berbagi informasi sesuai minat dan bidang masing-masing.

Semangat itu juga yang tertuang atau mungkin makin matang dalam bentuk video, termasuk juga vlog. Oleh karena itu, tidak heran YouTube kebanjiran video.

Tidak lagi "lucu-lucuan"

Kini bisa dibilang, vlog tidak lagi "lucu-lucuan" secara kualitas karena setidaknya ada tiga aspek utama yang diperhatikan layaknya membuat video di stasiun televisi, yakni proses pra-produksi, produksi, pasca-produksi.

Baca: Kiat Membuat Vlog dengan Smartphone

Isi yang bersifat sesuai dengan minat si pembuatnya tetapi dikemas dengan visual dengan warna-warna yang hidup membuat vlog laris diklik oleh mereka yang kerap kali menjadi penggemar sang vlogger.

Tema seperti tantangan atau challange, sekadar melepas unek-unek, hingga vlog perjalanan yang atraktif memberikan suguhan tersendiri sampai-sampai muncul pertanyaan semacam "apakah YouTube sudah menggantikan peran televisi?"

Baca: YouTube Mulai Rambah Bisnis TV Berlangganan

Terlebih lagi, video vlogger bisa membawa alam di luar ke ruang menonton, contohnya pada vlog travel. Oleh karenanya, rasa kritis itu pula yang tumbuh melalui ungkapan semacam "seeing is believeng".

Bagi penonton, vlog lebih bersahaja daripada acara televisi. Umumnya, para ?bintang? dalam tayangan ini adalah kalangan biasa. Thinkstock Bagi penonton, vlog lebih bersahaja daripada acara televisi. Umumnya, para ?bintang? dalam tayangan ini adalah kalangan biasa.

Sensasi baru pula yang bisa dirasakan andaikata vlog disaksikan melalui layar besar seperti pada TV, apalagi yang dilengkapi Hexachorme Drive untuk vlog, termasuk juga vlog travel, motovlog ala pengguna sepeda motor untuk melihat suasana kondisi jalan di daerah lain, dan sebagainya.

Dalam prosesnya, vlogger mungkin bisa menggunakan alat rekam apa saja dengan setelan warna standar Rec 709.

Dengan drive tipe Pro pada TV buatan Panasonic itu, gradasi warna pada setelan standar dari kamera itu bisa diangkat lebih tajam, terutama karena TV tersebut juga punya enam warna, yakni cyan, magenta, yellow (CMY) di luar warna TV pada umumnya, red, green, dan blue (RGB).

Perbedaan kualitas warna antara TV LED umum dan Hexachroma berkat adanya penajam, sekalipun sumber gambar punya setelan ruang warna standar. Warna TV Panasonic ini pun lebih kaya karena adanya penambahan warna cyan, magenta, yellow (CMY) di luar warna TV pada umumnya yang hanya red, green, dan blue (RGB). 
Panasonic Perbedaan kualitas warna antara TV LED umum dan Hexachroma berkat adanya penajam, sekalipun sumber gambar punya setelan ruang warna standar. Warna TV Panasonic ini pun lebih kaya karena adanya penambahan warna cyan, magenta, yellow (CMY) di luar warna TV pada umumnya yang hanya red, green, dan blue (RGB).


Terkini Lainnya

komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com