Komponen dan jenis kamera film
Ragam kamera yang dapat dikategorikan sebagai kamera film beraneka rupa karena sejarah panjangnya dari abad ke-19 hingga awal abad ke-21, mulai dari kamera yang muat di kantong (pocket camera) hingga view camera (large format) berukuran setinggi orang dewasa.
Untuk menyederhanakan, jenis kamera bisa dibedakan dari format (ukuran) film yang digunakan, misalnya film 135 (35mm, full frame), film 120 (62mm, medium format), dan sheet film untuk kamera large format.
Format film yang paling umum digunakan adalah film 135. Film 35mm ini mulai dipopulerkan oleh perusahaan kamera asal Jerman, Leica, pada awal abad ke-20 karena ukurannya kecil dan fisik kamera yang memakainya bisa dibuat kecil pula dibanding kamera-kamera lain pada masa itu.
Jenis kamera yang memakai film 135 pun bisa dibeda-bedakan lagi menjadi beberapa, seperti rangefinder, kamera saku (compact), SLR (single lens reflex), dan kamera instan (Polaroid).
Di era digital, tipe-tipe ini tetap eksis. Prinsip kerjanya tetap sama. Hanya saja, medium penangkap gambarnya berubah dari film menjadi sensor elektronik. Kamera SLR, misalnya, kini menjelma jadi DSLR (Digital Single Lens Reflex), sementara kamera instan “hybrid” modern sudah bisa merekam gambar dalam format digital di memory card, selain mencetaknya secara langsung di kertas khusus.
Komponen kamera film memiliki perbedaan dari kamera digital terkait mekanisme kerja penggunaan film sebagai medium. Punggung kamera film bisa dibuka untuk memasukkan rol film. Di dalamnya pun ada spool untuk meregangkan film, pressure plate untuk meratakan film di depan shutter, dan tuas atau motor untuk menggulung film kembali ke kemasannya setelah terpakai.
Sementara itu, punggung kamera digital biasanya tidak bisa dibuka lantaran sensor sudah tertanam permanen di bodi kamera. Namun ada juga beberapa kamera (medium dan large format) yang mediumnya bisa diubah dari film ke digital dengan menambah alat “digital back” berisi sensor ke bagian belakang.
Selain medium penangkap gambar, komponen-komponen lainnya bisa dibilang sama. Baik kamera digital maupun film sama-sama memiliki jendela bidik (viewfinder) untuk membidik gambar, shutter mekanik yang membuka dan menutup kembali untuk mengambil exposure alias menjepret foto, serta rating sensitivitas (ISO/ ASA) medium penangkap gambar terhadap cahaya.
Beberapa komponen mengalami perubahan ke bentuk yang lebih modern di kamera digital. Misalnya jendela bidik yang kini banyak digantikan LCD, atau electronic shutter yang menggantikan shutter mekanik. Kendati demikian, fungsi komponen-komponen tersebut tetap sama.
Teori segitiga exposure pun tetap berlaku di kamera digital seperti halnya kamera film. Pengguna kamera film dan digital sama-sama harus mempertimbangkan kecepatan rana (shutter), bukaan lensa (aperture), dan sensitivitas medium (ISO/ ASA) saat menjepret agar mendapatkan exposure sesuai keinginan.
Kamera digital dan film biasanya sudah memiliki alat light metering terintegrasi untuk melakukan pengukuran exposure secara otomatis.
Kecuali untuk kamera film tua (buatan dekade 50-an atau lebih lawas) yang kerap harus menambah light meter eksternal secara terpisah. Atau tidak bisa ditambahi sama sekali sehingga penggunanya harus mengukur cahaya secara manual dengan beberapa panduan seperti aturan "sunny sixteen".
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.