Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
TULISAN KHAS

Tyler Brûlé dan Monocle, Menantang Arus Era Digital

Kompas.com - 30/10/2017, 14:27 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


K
OMPAS.com – Di tengah gebyar era digital, termasuk euforianya, Tyler Brûlé dan majalah Monocle boleh dibilang adalah fenomena tersendiri. Hadir mulai 2006, di tengah marak bermunculannya media digital, Monocle malah kekeuh meluncur dengan basis cetak.

Bukan berarti Monocle tak ada di dunia digital. Namun, geliat digital Monocle “dibatasi” pada ketersediaan situs web. Itu pun, aksesnya berbayar.

Sudah begitu, Brûlé juga terang-terangan mengatakan bahwa Monocle tak menggandeng media sosial untuk mempromosikan diri apalagi menyebarkan potongan kontennya.

Kompas.com mendapat kesempatan wawancara eksklusif dengan Brûlé—pendiri sekaligus CEO Monocle—pada  Jumat (6/10/2017), di sela hajatan Ideafest 2017. Di situ, dia berbagi sejumlah perspektif tentang Monocle dan jurnalisme.

(Simak video: Wawancara Eksklusif Tyler Brûlé, Pendiri dan CEO Majalah Monocle)

“(Industri media) ini adalah pasar yang sudah padat. Jadi yang bisa kami lakukan adalah, di saat orang-orang meninggalkan media cetak, saya melihat ada peluang. Buat saya peluangnya adalah untuk melawan tren berbagai media seperti Time, Newsweek, Fortune, dan berbagai media internasional lainnya yang punya edisi Asia, Amerika, Eropa, dan lain-lain,” ungkap Brûlé.

Tyler Brûlé, pendiri dan CEO majalah Monocle. Gambar diambil pada Jumat (6/10/2017)KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO Tyler Brûlé, pendiri dan CEO majalah Monocle. Gambar diambil pada Jumat (6/10/2017)

Menurut Brûlé, jurnalisme yang berkualitas adalah kunci, bersama dengan akses, eksklusivitas, dan kedalaman konten. Mengandalkan pasokan konten dari kantor berita atau semata pandangan mata para pembaca, kata dia, bukan pilihan untuk tampil jadi juara di industri media.

Jurnalisme yang baik harus menjadi fondasi, begitu juga originalitas (konten),” ujar Brûlé.

Dalam perbincangan tersebut, Brûlé pun mengkritisi awak redaksi media yang menurut dia semakin berjarak dengan pembacanya. Ada begitu banyak media, kata dia, yang memantau dari waktu ke waktu jumlah pembaca untuk setiap kontennya tanpa pernah tahu siapa sebenarnya para pembaca itu.

“Kita perlu kembali ke titik di mana para editor, penerbit, keluar untuk menemui pembaca. (Saat ini) semua orang hanya sibuk menatap layar (data pemantau jumlah pembaca artikel) daripada menjumpai dan bercakap-cakap dengan pembaca seperti kita sekarang,” ungkap Brûlé.

Paradoks media sosial dan media massa

Soal media sosial dan media massa, Brûlé sangat lugas memberi garis batas. Menurut dia, media sosial adalah alat yang andal untuk promosi bagi berbagai jenis usaha tetapi bukan untuk media massa.

“Kami punya rasa skeptis yang sehat terhadap media sosial. Kalau Anda perusahaan media, maka Anda bersaing dengan perusahaan media lain,” ujar dia.

Majalah Monocle edisi Oktober 2017KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI Majalah Monocle edisi Oktober 2017

Terlebih lagi, kata Brûlé, media sosial seperti Facebook dan Twitter pun nyatanya mencari pendapatan dari pengiklan yang sama dengan media massa.

“Saya pikir (media sosial) itu bagus kalau Anda tidak bersaing dengan Twitter. Tapi mereka ini (perusahaan media) bersaing dengan Twitter. Mereka (Twitter) mengincar pengiklan yang sama. Lalu, mungkin tidak tiap hari, tapi sering kali mereka (media sosial) yang menang (dari perusahaan media),” ungkap Brûlé.

Brûlé melihat, banyak media massa punya kencenderungan menggunakan media sosial untuk membangun awareness pembaca atas produknya. Padahal, ujar dia, pembaca justru tak mengakses lagi media massa ketika kontennya digelontorkan gratis begitu saja lewat media sosial.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com