Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kalah di Tingkat Banding, Kominfo Ajukan Kasasi Kasus Internux

Kompas.com - 31/01/2018, 07:09 WIB
Fatimah Kartini Bohang,
Reza Wahyudi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tetap bersalah dalam kasus izin penggunaan frekuensi 30 Mhz di pita 2,3 GHz yang diajukan PT Internux (Bolt). Tak menyerah, pemerintah pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
 
"Kami sudah masukan memori kasasi. Tinggal menunggu panggilan MA," kata Komisioner Bidang Hukum Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Ketut Prihadi Kresna, Kamis (30/1/2018), di Kantor Kominfo, Jakarta.
 
Ketut mengatakan pemerintah sudah melakukan hal yang benar dan tidak menyalahi aturan. Adapun PT Internux melayangkan dua gugatan ke Kominfo.
 
Pertama, PT Internux menuding Kominfo lalai soal pengawasan dan pengendalian izin frekuensi 2,3 GHz. Menurut Internux, operator di frekuensi itu semestinya mengembangkan infrastruktur jaringan sehingga bisa diajak bekerja sama oleh perusahaan lain.
 
Padahal, Ketut mengatakan pemerintah tidak pernah menjanjikan hal tersebut. Tak ada aturan yang menjamin operator di zona tertentu bisa bekerja sama dengan operator di zona lain untuk menggelar jaringan secara nasional.
 
"Kalau ada kerja sama itu sifatnya B2B, tidak ada intervensi dari pemerintah," ia berujar.
 
Gugatan kedua, PT Internux mempermasalahkan soal izin spektrum 30 MHz di frekuensi 2,3 GHz yang diberikan Kominfo tanpa proses lelang ke PT Smart Telecom (Smartfren). Sebelumnya, Smartfren merupakan pemegang lisensi nasional di frekuensi 1,9 GHz.
 
Kominfo memberikan izin tersebut karena ada gangguan sinyal perangkat radio terhadap operator GSM yang memengaruhi jaringan Smartfren kala itu di frekuensi 1,9 GHz. Alhasil, Internux meminta hak yang sama dengan Smartfren di spektrum 2,3 GHz.
 
Ketut berdalih pemerintah sudah bertindak dengan prosedur yang benar. Ia menjabarkan ada dua mekanisme pemberian izin penggunaan frekuensi.
 
"Pertama, melalui seleksi kalau jumlah peminatnya lebih banyak dari ketersediaan. Misalnya yang tersedia satu yang minat sepuluh," ia menjelaskan.
 
"Kedua, nggak perlu seleksi kalau misalnya A punya alokasi di frekuensi A. Kemudian pemerintah punya rencana nanti akan pakai frekuensi A untuk urusan lain. Berarti operator A harus dipindahkan, dilihat tuh ke mana dipindahkannya. Nggak usah pakai seleksi tapi relokasi," ia menambahkan.
 
Besaran 30 Mhz yang diberikan ke Smartfren pun diklaim berdasarkan penghitungan khusus. Kominfo merujuk dari frekuensi yang dulu dimiliki Smartfren di pita 1,9 GHz.
 
"Nggak apple to apple kalau Internux mau minta yang sama juga," Ketut menuturkan.
 
Jika nanti Kominfo tetap kalah di tingkat kasasi, putusan MA sudah tak bisa lagi digugat alias bersifat "in kracht". Meski begitu, Ketut menilai pemerintah tetap tak bisa mengabulkan permintaan Internux.
 
"Kami lihat apakah tuntutan mereka bisa dijalankan atau tidak. Internux minta 30 MHz di 2,3 GHz. Sekarang 2,3 GHz alokasinya cuma ada 100 MHz. 30 MHz dulu buat tender, 30 MHz untuk Smartfren, 30 MHz sudah dimenangkan Telkomsem, berarti tinggal 10 MHz untuk disimpan. Secara fakta sudah tidak ada jatah 30 MHz untuk Internux," ia mengungkapkan.
 
Di tingkat kasasi, kata Ketut, hal yang dipermasalahkan bukan lagi soal substansi kasus melainkan soal cara-cara hakim membuat putusan. Pemerintah mengindikasikan hakim kurang cermat.
 
"Kami melihat ada suatu persyaratan yang mungkin tidak diperhatikan ketika hakim memutuskan. Sekarang dokumen kasasinya sudah masuk, kami bahas dokumen itu sejak dua bulan lalu," ia mengungkapkan.

Baca juga : Gugatan Bolt Dikabulkan, Ini Tanggapan Menkominfo

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com