Namun, kemurkaan para pengguna Facebook di Amerika Serikat tak butuh syarat konstitusi. Salah satu reaksi spontan sekaligus masif yang muncul itu adalah seruan penghapusan akun Facebook.
Kemarahan juga menerpa otoritas politik dan hukum Amerika Serikat. Facebook dinilai telah melanggar ketentuan yang mewajibkan perusahaan berbasis di Amerika Serikat memastikan perlindungan data privasi para pengguna layanannya.
Anjloknya valuasi saham menjadi terpaan berikutnya bagi Facebook. Penurunan nilai saham itu terutama terjadi setelah parlemen Eropa pun meminta Zuckerberg menghadap dan mendudukkan perkara penyalahgunaan ini.
Bagi rakyat Amerika Serikat, penyalahgunaan data pribadi melalui media sosial ini merupakan pelanggaran privasi. Negara ini punya regulasi yang jelas dan tegas terkait perlindungan data pribadi, yang antara lain mencakup data pribadi para pemilik akun media sosial.
Sejumlah peristiwa masih bergulir terkait dinamika perlindungan data privasi tersebut. Ada pengajuan gugatan, penangguhan kerja sama, hingga pengunduran diri sosok-sosok penting di perusahaan-perusahaan terkait.
Segala penggunaan data pribadi tanpa izin dari si pemilik akan langsung diidentifikasi sebagai pelanggaran privasi. Ini soal serius, setidaknya di sana.
Kode keras buat Indonesia
Nah, kasus ini bisa jadi merupakan kode keras buat Indonesia. Pertama, konsultan Trump yang kini diperkarakan Facebook ke meja hijau itu konon juga punya klien di sini.
Kedua, negara-negara yang sudah jelas punya pakem regulasi terkait jaminan perlindungan data pribadi saja bisa kebobolan penyalahgunaan data sekrusial dan semasif itu. Bagaimana dengan Indonesia yang hingga tulisan ini dibuat bahkan belum punya draf regulasi perlindungan data privasi?
Berlebihankah kalau skandal Facebook disebut kode keras bagi Indonesia? Lalu, seberapa penting sebenarnya ada regulasi yang memayungi jaminan perlindungan data privasi?
Coba diingat-ingat. Dari mana para telemarketer mendapatkan nomor telepon kita untuk berkali-kali dihubungi itu, sementara kita tak punya rekening di tabungan di bank penerbit kartu kredit itu?
Lalu, bagaimana juga soal tawaran-tawaran kredit tanpa agunan dan atau pelunasan utang yang suka menghiasi inbox layanan pesan itu? Belum lagi percobaan-percobaan penipuan baik lewat pesan suara maupun teks....
Solusi pemerintah mewajibkan registrasi ulang semua nomor kartu ponsel juga bukan tanpa masalah. Katakanlah alasan yang dipakai adalah untuk menghentikan praktik penipuan lewat jejaring layanan pesan atau telekomunikasi seluler, sepertinya tidak tokcer juga.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.