Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Palupi Annisa Auliani
Tukang Ketik

Pekerja media. Dari cetak, sedang belajar online dan digital, sambil icip-icip pelajaran komunikasi politik di Universitas Paramadina.

kolom

Kode Keras buat Indonesia dari Seruan Global Hapus Akun Facebook

Kompas.com - 21/03/2018, 18:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


DELETE
Facebook. Lebih tegas lagi, #deletefacebook yang pakai tanda pagar (tagar) atau hashtag. Artinya dalam bahasa Indonesia sama sih, hapus (akun) Facebook. Terus, ada apa?

Lemparkan frasa itu ke halaman pencarian di browser internet, sepenuh layar gadget atau komputer akan memunculkannya. Frasa itu masih akan terus muncul bahkan setelah lewat halaman 15 hasil pencarian, setidaknya sampai Rabu (21/3/2018) petang.

Tentu, di antara deretan pengguna frasa tersebut adalah layanan pendukung milik Facebook sendiri. Namun, selebihnya adalah hujatan, kecaman, atau paling minimal adalah nada iba yang mencela.

Media mainstream di benua Amerika dan Eropa, termasuk media teknologi dan ekonomi, lengkap menulis sampai ke tata cara menghapus akun Facebook. Tak kurang, dibahas pula perbedaan menghapus dan menonaktifkan akun Facebook, lengkap dengan masing-masing langkah yang perlu dilakukan.

Cuitan “It is time. #deletefacebook” dari co-founder aplikasi Whatsapp Brian Acton,  misalnya, hingga Rabu siang WIB sudah di-retweet lebih dari 2.000 kali, disukai oleh nyaris 5.000 orang, dengan lebih 300 komentar menyambanginya.

(Baca juga: Pendiri WhatsApp Ajak Netizen untuk Hapus Facebook)

Sebagai catatan, Whatsapp adalah aplikasi media sosial yang dibeli Facebook pada 2014. Seusai akuisisi seharga 16 miliar dollar AS—setara sekitar Rp 226,875 triliun dengan kurs Rp 13.750 per dollar AS—itu, Acton memilih hengkang dari Whatsapp.


Cuitan Brian Acton, co-founder aplikasi Whatsapp, soal Facebook, Selasa (20/3/2018)Twitter.com Cuitan Brian Acton, co-founder aplikasi Whatsapp, soal Facebook, Selasa (20/3/2018)

Seolah belum cukup, Facebook juga harus berhadapan dengan otoritas hukum dan politik di benua Amerika dan Eropa. Sudah begitu, nilai sahamnya pun tergerus signifikan sejak Jumat (16/3/2018), yang menurut Bloomberg sampai penutupan perdagangan pada Selasa (20/3/2018) telah mencapai 60 miliar dollar AS atau setara Rp 825 triliun.


Di balik kemenangan Trump

Semua kesesakan yang dirasakan Mark Zuckerberg dan jajaran Facebook tersebut bermula dari dugaan penyalahgunaan data pribadi pemilik akun Facebook untuk pemenangan Donald Trump dalam Pemilu Presiden AS pada 2016. Bagaimana bisa?

Jauh sebelum hari ini, terungkap bahwa kemenangan Trump ditengarai melibatkan campur tangan Rusia. Belum reda isu itu, terungkap bahwa ada algoritma Facebook yang digunakan untuk “menerka” selera pengguna Facebook terkait informasi, yang lalu diduga dipakai memuluskan jalan Trump ke Gedung Putih.

Telisik punya telisik, konsultan pemenangan Trump bekerja sama dengan seorang ilmuwan Rusia kelahiran Amerika Serikat. Ilmuwan ini sebelumnya punya perjanjian dengan Facebook terkait data pengguna media sosial itu. Klaim awalnya, data tersebut untuk tujuan akademis.

Belakangan terungkap, diduga ada sinergi ilmuwan dimaksud dengan konsultan Trump. Perusahaan konsultan tersebut, Cambridge Analityca, diduga telah menyasar 50 juta pengguna Facebook di Amerika Serikat secara ilegal berdasarkan data preferensi agama, politik, dan sosial.

Kemenangan Trump bisa jadi disesali oleh rakyat Amerika Serikat, tetapi bagaimanapun itu sudah terjadi. Hasil pemilu tak bisa diganggu gugat lagi, kecuali ada klausul yang memenuhi prasyarat konstitusi untuk memakzulkan Trump di tengah periode pemerintahannya.

Namun, kemurkaan para pengguna Facebook di Amerika Serikat tak butuh syarat konstitusi. Salah satu reaksi spontan sekaligus masif yang muncul itu adalah seruan penghapusan akun Facebook.

Kemarahan juga menerpa otoritas politik dan hukum Amerika Serikat. Facebook dinilai telah melanggar ketentuan yang mewajibkan perusahaan berbasis di Amerika Serikat memastikan perlindungan data privasi para pengguna layanannya.


Tren valuasi saham Facebook sampai Selasa (20/3/2018). Terkait terpaan isu pelanggaran jaminan perlindungan data privasi, valuasi saham Facebook sudah anjlok 60 miliar dollar AS dalam hitungan hari, berdasarkan data BloombergBLOOMBERG Tren valuasi saham Facebook sampai Selasa (20/3/2018). Terkait terpaan isu pelanggaran jaminan perlindungan data privasi, valuasi saham Facebook sudah anjlok 60 miliar dollar AS dalam hitungan hari, berdasarkan data Bloomberg

Anjloknya valuasi saham menjadi terpaan berikutnya bagi Facebook. Penurunan nilai saham itu terutama terjadi setelah parlemen Eropa pun meminta Zuckerberg menghadap dan mendudukkan perkara penyalahgunaan ini.

Bagi rakyat Amerika Serikat, penyalahgunaan data pribadi melalui media sosial ini merupakan pelanggaran privasi. Negara ini punya regulasi yang jelas dan tegas terkait perlindungan data pribadi, yang antara lain mencakup data pribadi para pemilik akun media sosial.

Sejumlah peristiwa masih bergulir terkait dinamika perlindungan data privasi tersebut. Ada pengajuan gugatan, penangguhan kerja sama, hingga pengunduran diri sosok-sosok penting di perusahaan-perusahaan terkait.

Segala penggunaan data pribadi tanpa izin dari si pemilik akan langsung diidentifikasi sebagai pelanggaran privasi. Ini soal serius, setidaknya di sana.

Kode keras buat Indonesia

Nah, kasus ini bisa jadi merupakan kode keras buat Indonesia. Pertama, konsultan Trump yang kini diperkarakan Facebook ke meja hijau itu konon juga punya klien di sini.

Kedua, negara-negara yang sudah jelas punya pakem regulasi terkait jaminan perlindungan data pribadi saja bisa kebobolan penyalahgunaan data sekrusial dan semasif itu. Bagaimana dengan Indonesia yang hingga tulisan ini dibuat bahkan belum punya draf regulasi perlindungan data privasi?

Berlebihankah kalau skandal Facebook disebut kode keras bagi Indonesia? Lalu, seberapa penting sebenarnya ada regulasi yang memayungi jaminan perlindungan data privasi?

Coba diingat-ingat. Dari mana para telemarketer mendapatkan nomor telepon kita untuk berkali-kali dihubungi itu, sementara kita tak punya rekening di tabungan di bank penerbit kartu kredit itu?

Lalu, bagaimana juga soal tawaran-tawaran kredit tanpa agunan dan atau pelunasan utang yang suka menghiasi inbox layanan pesan itu? Belum lagi percobaan-percobaan penipuan baik lewat pesan suara maupun teks....

Solusi pemerintah mewajibkan registrasi ulang semua nomor kartu ponsel juga bukan tanpa masalah. Katakanlah alasan yang dipakai adalah untuk menghentikan praktik penipuan lewat jejaring layanan pesan atau telekomunikasi seluler, sepertinya tidak tokcer juga.

Mereka yang sudah meregistrasi nomornya juga masih saja mendapatkan pesan-pesan itu. Berkurang, bolehlah, tapi tidak lalu hilang.

Kalau alasan pewajiban registrasi adalah kekhawatiran penyalahgunaan layanan pesan dan media sosial di ponsel untuk tujuan terorisme, jadinya debat kusir atau bukan sih?

Pertanyaannya, berapa banyak sebenarnya orang Indonesia yang terduga terlibat jejaring teroris dari 258 juta penduduk Indonesia per akhir 2016 berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Indonesia 2017 itu? Apakah jumlahnya sepadan dengan kewajiban yang melekat bagi seluruh rakyat Indonesia?


Seorang warga terlihat sedang registrasi SIM card miliknya di salah satu gerai di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten, Selasa (7/11/2017). Pemerintah mewajibkan registrasi ulang SIM card bagi para pengguna telepon seluler hingga 28 Februari 2018 dengan memakai nomor NIK dan kartu keluarga (KK). KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI Seorang warga terlihat sedang registrasi SIM card miliknya di salah satu gerai di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten, Selasa (7/11/2017). Pemerintah mewajibkan registrasi ulang SIM card bagi para pengguna telepon seluler hingga 28 Februari 2018 dengan memakai nomor NIK dan kartu keluarga (KK).

Katakanlah argumentasi dan langkah yang ditempuh pemerintah memang tokcer, pertanyaan yang perlu diajukan adalah siapa yang bertanggung jawab memastikan data penduduk Indonesia tidak disalahgunakan dalam proses panjang melibatkan operator telekomunikasi, pengelola server e-KTP, dan pusat data pemerintah?

Pada awal Maret 2018, misalnya, marak kabar registrasi gagal. Ketika akhirnya berhasil, dicek ada puluhan identitas yang menggunakan satu nomor ponsel. Dicek lagi ke otoritas, datanya memang tunggal.

Kok bisa beda? Sudah begitu, pada kurun waktu berdekatan, muncul temuan dugaan pembelian mobil-mobil mewah menggunakan identitas orang lain.

Belum lagi, registrasi menggunakan nomor induk kependudukan (NIK) sekaligus nomor Kartu Keluarga (KK) ibarat kata sudah membuka lebar pintu bagi peluang terkuaknya data-data yang selama ini lazim menjadi pengaman identitas dalam transaksi keuangan. Sebut saja sebagai contoh, data nama ibu kandung.

Lalu, siapa pula sejatinya penanggung jawab nomor layanan 4444 yang dipakai semua operator telekomunikasi untuk kebutuhan pendaftaran nomor ponsel? Rasanya pemahaman soal pengelolaan nomor hotline tersebut juga perlu dicermati.

Bila kelak rezim berganti kemudian arah angin kebijakan informasi dan telekomunikasi berubah, siapa yang akan mengelola nomor tersebut? Katakanlah tak lagi dipakai, kumpulan akses datanya akan dibagaimanakan?

Dari semua pertanyaan panjang itu, hal yang paling krusial adalah, seperti apa jaminan perlindungan data pribadi yang disediakan bagi penduduk negeri ini ketika kewajiban-kewajiban pelaporan menggunakan data personal itu dilaksanakan dengan patuh?

Untuk menjawab itu semua, tak perlu juga menunggu ada skandal seperti yang tengah mengguncang daratan Amerika dan Eropa terjadi terlebih dahulu di sini, bukan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com