Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

kolom

Melejitnya “Underdog” pada Kompetisi Telko

Kompas.com - 27/05/2019, 09:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDUSTRI telekomunikasi Indonesia yang centang perenang akibat penyusutan, shrinking, diramalkan akan mulai bergairah selewat akhir tahun 2019 ini. Operator yang menurun labanya atau merugi, tahun depan sudah mulai berkibar lagi.

XL Axiata misalnya, sudah mendahului dengan kinclong-nya laporan keuangan mereka di triwulan pertama 2019, labanya naik 270,19 persen dari rugi Rp 3,29 triliun menjadi laba Rp 57,2 miliar.

Pada periode sama Smartfren masih merugi sebesar Rp 424,6 miliar, menurun dibanding periode sama tahun 2018 yang Rp 685 miliar. Jumlah pelanggan semua operator menciut akibat kebijakan pemerintah soal registrasi.

Telkomsel terpangkas sekitar 28 juta pelanggannya dari 196 juta pada akhir 2017 jadi 168 juta akhir 2018.

Pelanggan XL saat ini 55,1 juta, Indosat tinggal 53,3 juta dari 115 juta akhir 2017, Tri 38 juta, Smartfren 12 juta dan akan menjadi 30 juta pada akhir 2019, Sampurna Telecom 200 ribu. 

Baca juga: Menanti Efisiensi Industri Telko Lewat Registrasi Kartu SIM Prabayar

Tanpa jaringan lebih luas, posisi Indosat akan diperebutkan oleh Tri dan Smartfren dan orang masih tidak percaya jika para underdog ini kelak akan melangkahi XL Axiata apabila XL tidak waspada.

Tahun 2019 ini Tri berencana membangun 8.000 BTS baru, green filed, dan hingga akhir Juni diperkirakan 4.271 BTS sudah berdiri dan beroperasi.

Hingga tiga tahun lalu Tri masih merugi, kemudian pendapatannya tumbuh dua digit dan akhir tahun 2018 Tri mencapai penghasilan 1,5 miliar dollar AS, sekitar Rp 22 triliun. Ebitda (earn before interest, tax, depreciation, and amortization – pendapatan sebelum bunga, pajak, penyusutan, dan pelunasan utang) Tri naik 30 persen menjadi 250 juta dollar AS.

Bagi Tri, anggota kelompok Hutchison dari Hongkong, jumlah pelanggan bukan ukuran keberhasilan, melainkan besaran pendapatan. Dengan suntikan modal Rp 47 triliun, Tri mulai agresif memperbanyak BTS, dari 63.000 – 60 persen di antaranya BTS 4G – menjadi 74.000 BTS pada akhir 2019.

Menurut Wakil Dirut Tri, Danny Buldansyah, hingga akhir tahun jumlah pelanggan diharapkan naik dua juta, dan tahun berikutnya setiap BTS akan menambah seribu pelanggan baru.

Dengan ARPU (average revenue per user – pendapatan dari rata-rata pelanggan) sebesar Rp 32.000, pendapatan Tri akan melambung lagi.

Baca juga: Menimbang Keberlangsungan Pembangunan Infrastruktur Telko dengan Network Sharing

Untuk gambaran, ARPU Telkomsel kini Rp 45.000, XL Axiata Rp 33.000, Indosat Rp 26.000 dan Smartfren Rp 39.000. ARPU Tri naik karena kini mereka menjual data pada tingkat yang memadai, antara Rp 7.000 hingga Rp 8.000 per GB.


Tidak dimiliki operator lain

Pendapat pengamat mengatakan, dengan kemungkinan ARPU naik menjadi Rp 35.000 dan BTS menjadi 85.000 serta pelanggan mencapai 60 juta, pendapatan Tri akhir tahun 2020 diperkirakan bisa lebih dari Rp 28 triliun, Tri bisa naik ke peringkat ketiga.

Tri akan menggeser Indosat yang sedang sulit bangkit setelah rugi Rp 2,4 triliun tahun 2018.
Namun Tri tidak akan melenggang ke posisi tiga, karena Smartfren tidak akan memberi jalan.

Operator milik Sinarmas itu menargetkan pelanggan menjadi 30 juta pada akhir tahun 2019, naik hampir tiga kali lipat.

Smartfren, seperti halnya Indosat, punya induk yang “uangnya tidak berseri”. Dua tahun terakhir mencatat rugi masing-masing sekitar Rp 2,4 triliun namun tiga bulan pertama tahun 2019 mereka mendapat penghasilan Rp 1,41 triliun, naik 17 persen secara tahunan (year on year).

Smartfren akan mencontoh Reliance-Jio dari India yang pangsa pasarnya naik hampir 2 kali lipat dalam setahun dari 15,4 persen pada tahun 2017 menjadi 30 persen pada akhir tahun 2018. Jio mencatatkan jumlah pelanggan dari nol menjadi 250 juta hanya dalam dua tahun.

Jio mengalahkan Bharti Airtel yang sebelumnya memimpin pasar. Juga Vodafone-Idea, yang pangsa pasarnya terus menunjukkan tren turun pada masa yang sama, dari 36,9 persen menjadi hanya 31,4 persen.

Kuncinya, Jio menggratiskan layanan suara dan data, sehingga jumlah pelanggannya melejit. Targetnya sederhana, menjangkau ratusan juta kaum papa yang jauh dari ponsel.

Jio mempersiapkannya sejak jauh hari dengan menggelontorkan modal 32 miliar dollar AS, atau sekitar Rp 460 triliun untuk membangun jaringan. Kemudian mereka menggratiskan panggilan telepon dan data setelah menjual murah JioPhone lewat bundling.

Uniknya, Jio tidak mengambil untung dari layanan suara (voice) dan paket datanya. Jauh sebelum menggelar jaringan dengan investasi yang sangat besar, Jio mempersiapkan bisnis pendukungnya.

Jaringan pendukung

Induk usahanya, Reliance, sudah menyiapkan jaringan perhotelan, penyedia konten, layanan keuangan dalam berbagai bentuk, transportasi, properti, pertanian, media dan banyak lagi yang bisa menghasilkan uang.

Bisnis lain inilah yang keuntungannya digunakan untuk menyubsidi operasional Jio dan bukan mustahil pangsa pasar Reliance-Jio akan mencapai 75 persen dalam tiga-empat tahun ke depan.

Menggairahkan. Sinar Mas pun ingin Smartfren mencontoh Jio. Sama dengan Jio, Sinar Mas juga punya spektrum emas selebar 30 MHz di 2300 MHz yang berkapasitas besar selain 10 MHz di spektrum 850 MHz.

Sementara Bharti dan Vodafone persis operator Indonesia yang hanya memiliki spektrum 850 MHz, 1800 MHz dan 2100 MHz, kecuali Telkomsel yang punya tambahan 30 MHz di spektrum 2300 MHz.

Sinar Mas punya pabrik pulp, layanan keuangan, pertanian dan real estate, rumah sakit, pendidikan, pertambangan dan telekomunikasi, sesuatu yang tidak dimiliki operator lain. S

martfren punya peluang mencapai jumlah pelanggan di atas 120 juta pada tiga-empat tahun ke depan setelah memperbanyak bisnis penunjangnya.

Sudah ada direktur Smartfren orang India dari Jio, selain konsultan pemasaran. Tetapi mereka tidak akan persis meniru Jio dan mengembangkannya sesuai kondisi lokal.

Sekarang sulit menambah jumlah pelanggan baru karena industri sudah jenuh dengan 360 juta-an pelanggan. Namun kesempatan tetap terbuka karena umumnya ponsel menyiapkan dua slot kartu SIM.

Dalam memasarkan produknya sebaiknya Smartfren tidak menganjurkan orang membuang nomor yang ada, tetapi mengisi slot kedua dengan kartu SIM Smartfren, khusus untuk layanan data yang murah.

Smartfren sudah mulai menawarkan paket data termurah, perdana Rp 65.000 isi 30 GB, dan voucher data Rp 2.000 per GB.

Kita lihat siapa yang akan merebut peringkat kedua, Smartfren atau Tri, yang kini masih dianggap underdog. Mampukah mereka mendepak XL Axiata dan Indosat sekaligus?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com